Khanduri Thon dalam Lintasan Sejarah Aceh

TA Sakti, tokoh langka di dunia hikayat Aceh | Foto via dokumen Tambeh

Oleh: T.A. Sakti

Khanduri Thon, berarti kenduri tahunan yang diadakan sekali dalam setahun. Seiring dengan berlalunya waktu, maka prosesi atau tatacara Khanduri Thon juga berubah mengikuti perkembangan zaman.

Namun, prinsip dasarnya masih seperti semula, yaitu Khanduri Thon adalah sarana seorang/keluarga muslim dalam bermunajat kepada Allah SWT (terutama kenduri bagi pahala keu roh areuwah– pahala bagi almarhum/almarhumah) dan menjadi ajang memperkuat silaturrahmi sesama hambaNya.

Dalam pengamatan saya sejak kecil, acara Khanduri Thon tidaklah dilakukan oleh semua keluarga, tetapi hanya dilaksanakan oleh keluarga-keluarga mampu saja dalam sesuatu kampung. Lagi pula tidaklah tetap diadakan setiap tahun, tergantung kemudahan rezeki yang diperoleh di tahun yang bersangkutan.

Bila keluarga yang bersangkutan lebih makmur, kenduri pun lebih besar dan meriah. Sanak famili, sahabat dan tetangga yang diundang pun lebih banyak. Jenis kenduri juga lengkap, yakni ada kenduri siang (khanduri uroe) dan kenduri malam (khanduri malam).

Jika dana terbatas, biasanya orang lebih mengutamakan kenduri malam saja, sedang pada siang hari hanya diundang tetengga kiri-kanan rumah , terutama untuk membantu mempersiapkannya (peuhase khanduri). Pada kenduri malam; setelah selesai makan kenduri diikuti acara doa bersama.

Dalam hal pengisian acara khanduri malam inilah hadirnya perbedaan antara khanduri malam tempo dulu dengan sekarang.

Sejauh ingatan saya, sampai tahun 70-an acara utama pada khanduri malam adalah pengajian Al Qur’an (beuet Quru’an). Selesai menyantap nasi kenduri, mulailah beuet Quru’an itu. Hampir semua yang hadir ikut mengaji, termasuk anak laki-laki. Beberapa qari terkenal dari sekitar kampung kadangkala diundang pula.

Pada kesempatan inilah anak-anak (aneukmiet) menampilkan kemampuannya membaca Al Qur’an di depan umum. Mereka amat bangga!. Hal ini, dapat mendorong pula anak-anak yang lain lebih rajin belajar membaca Al Qur’an, agar dapat ikut mengaji di acara kenduri (jeuet beuet bak khanduri).

Tata tertib pengajian secara berkelompok antara 3-4 orang. Sebelum dimulai, tuan rumah lebih dulu memberitahukan apakah acara pengajian itu sekali minum atau dua, yang dalam bahasa masyarakat disebut neulop/tanggul, yaitu neulop sa dan neulop dua.

Pembukaan Sumon pertama, yaitu Alham dan Alif Lam Mim dibacakan oleh Teungku Peutuwa (Imam kampung) atau yang paling patut diantara hadirin. Sumon; adalah batas-batas bacaan Al Qur’an per-kelompok.

Sumon Innallaha, Atakmuru,Waizqultum, Afatatma’u, Waiza qiilalahum, Manansakhmin,Waizibtala; dan Juz Sayaqulus; terus-menerus dibaca oleh kelompok-kelompok lain. Anak-anak (aneukmiet) biasanya kebagian pada Sumon Afatatma, u. Saya yakin, banyak generasi muda Aceh yang tidak kenal lagi istilah Sumon pada Al Qur’an.

Bila acara beuet Quru’an itu hanya satu neulop, maka pengajian itu langsung diteruskan sampai tamat/selesai pada Juz Sayaqulus. Sementara jika dua neulop, pengajian dihentikan sementara sesampainya pada Sumon Manansakhmin.

Di saat jeda itu, beberapa judul Like Aceh atau Kasidah dikumandangkan riuh sekampung. Lalu hidang minuman pun diangkat orang sebagai neulop pertama. Juadahnya terdiri dari beragam kue khas Aceh tempo dulu.

Malah pernah saya dengar, pada era belum hadirnya minuman kopi dan teh di Aceh – selain ie kahwa/air kahwa yang sangat mahal harganya – dihidangkan pula teubee; potongan-potongan tebu yang sudah dikupas kulitnya.

Tugas mengupas kulit tebu ini dikhususkan kepada orang-orang yang tidak menjadi peserta pengajian karena ia tak mampu membaca Al Qur’an.

Mereka duduk di belakang pintu, dan hal ini suatu ‘aib!. Maka tak heran, jika dulu ada ungkapan orangtua kepada anak-anaknya: “Hai, kabeuet beusunggoh-sunggoh, bek jeuet keu ureueng sek teubee dilikot pinto rumoh gob!(Hai, belajar mengajilah bersungguh-sungguh, agar tidak jadi tukang kupas tebu di belakang pintu rumah orang!).

Di bagian neulop dua, peserta pembaca Al Qur’an telah dijatahkan bagi orang-orang yang qari atau fasih tajwidnya. Saat inilah tampil para undangan khusus, termasuk pula qari-qari dari kampung tuan rumah. Pembacaan dimulai pada Sumon Manansakhmin atau Waizibtala sampai satu halaman setelah Juz Sayaqulus, yakni pada ayat: “Innash shafa..”.

Walaupun jumlah sumonnya sedikit, tetapi waktu yang dihabiskan cukup lama. Hal ini disebabkan cara mereka mengaji cukup syarat tajwid, lagu atau iramanya yang berdengung, beralun-alun.

Bahkan Lagu Pidie, yang berirama nyaring, keras, melengking; kadang-kadang sempat ditampilkan pula. Bacaan Al Qur’an neulop dua ini baru berakhir lewat tengah malam. Kasidah atau Like tentu lebih meriah serta membahana pada penutupan neulop dua ini.

Acara Khanduri Thon ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Teungku/’alim terpandang. Di saat para hadirin sedang berdoa menadah tangan (Aceh: leueng jaroe) ; sambil membaca…amin!… Muncullah tuan rumah atau yang mewakilinya membagikan sedekah; dengan cara meletakkan di dalam telapak tangan yang sedang menadah/terbuka itu.

Kemudian; sekali lagi para tamu disuguhi minuman dengan hidangan yang lebih “wah” alias mewah dari hidangan neulop pertama.

Barulah Khanduri Thon berakhir ketika tengah malam telah lewat. Semua tamu beranjak pulang. Pada era belum adanya lampu senter di kampung-kampung, perjalanan malam lebih merepotkan. Namun, tuan rumah telah menyediakan dari awal.

Kepada para undangan yang jauh diberikan suwa atau suloh sebagai alat penerang saat pulang. Suwa adalah ubeue(daun kelapa kering) yang disimpulkan dalam satu ikatan, sedangkan suloh, yakni satu ruas bambu kecil (buloh) yang diisi minyak serta kain sumbu diujungnya.

Diiringi salam-menyalami dengan tuan rumah atau yang mewakilinya; maka pulanglah para tamu undangan yang jauh itu diterangi suloh atau suwa yang menyala. Selaku anak-anak, dulu saya sempat merenungkan; sungguh susahnya kepulangan mereka itu.

Betapa tidak, mereka berjalan kaki tertatih-tatih di pematang sawah, melintasi jalan-jalan kampung di malam yang gelap gulita. Kr’ep-kr’op suara itik bertelur (itek toeh boh) terdengar di kejauhan; pertanda malam sudah amat larut. Bila tempat yang dituju sejauh 3 – 4 km, maka tepat disaat ku’uk manok/kokok ayam; menjelang subuh barulah mereka tiba di rumah.

Sejak sekitar tahun 80-an, pemandangan deretan suwa/nyala api di pematang sawah lewat tengah malam; nyaris tak terlihat lagi. Sebab, acara Khanduri Thon pada malam hari tidak lagi diisi dengan pengajian Al Qur’an (hanale beuet Quru’an).

Selesai santapan nasi kenduri, mulailah acara doa bersama dengan Shamadiah, berupa membaca selawat, zikir/meurateb, dan qulhu puluhan kali. Bila pun ada pembagian sedekah oleh tuan rumah, lebih sering diberikan dalam amplop. Paling lambat jam 21.30 Wib. Malam segala kegiatan selesai.

Maka pupuslah satu “cemeti” yang membuat anak-anak Aceh rajin belajar mengaji. Tapi, pendorong baru telah hadir pula lebih sepuluh tahun lalu. Yaitu setiap calon legislatif dan eksekutif Aceh wajib mampu membaca Al Qur’an.

Bila tak bisa membaca Al Qur’an, tak usah berangan-angan menjadi Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota dewan DPRA, DPRK di Aceh.

Khanduri Thon di Kampus

Khanduri Thon paling aktual bagi civitas akademika Unsyiah adalah Kenduri Thon di rumah dinas Rektor Universitas Syiah Kuala(USK); Prof.Dr. Darni M. Daud,MA yang dilangsungkan beberapa tahun lalu. Setahu saya inilah Khanduri Thon perdana yang berlangsung di kampus di Provinsi Aceh.

Kebetulan saya tak dapat menghadirinya, karena sedang di kampung buat mengadakan Khanduri Thon keluarga pula. Menurut info dari teman-teman, acara Kenduri Thon pada Rektor Unsyiah saat itu cukup berkesan, karena semua menu masakan khas Aceh dan makanan/kue Aceh serta ditampilkan pula Seulaweuet dan Like Aceh yang dibawakan oleh Medya Hus; seniman Aceh terkenal sampai saat ini.

Para undangan Khanduri Thon sekarang, biar pun jauh tak sempat lagi mendengar kr’ep-kr’op itek toeh boh (suara itik bertelur) ketika pulang, karena jam 21.30 malam memang belum saatnya itik bertelur.

Selain itu, para tamu pun tidak lagi berjalan kaki. Sewaktu datang atau pulang mereka menaiki kenderaan sepeda motor (honda) bahkan roda empat. Seiring dengan hal demikian, itik pun sekarang tidak ribut lagi (hana kiroeh le) saat bertelur.