DONYAPOST, Jakarta – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, menegaskan bahwa dua dekade penandatanganan MoU Helsinki harus dijadikan titik evaluasi dan revitalisasi semangat perdamaian di Aceh.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi pembicara pada Commemoration of the 20th Anniversary of the Aceh Peace Agreement, sesi “Refleksi dari Kepemimpinan Aceh dalam Proses Perundingan”, di Jakarta, Rabu (13/8/2025). Kegiatan ini digelar oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
Acara tersebut dihadiri mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus Ketua Juru Runding RI dalam MoU Helsinki Hamid Awaluddin, inisiator perdamaian asal Finlandia Juha Christensen, sejumlah menteri Kabinet Prabowo–Gibran, perwakilan negara sahabat, lembaga donor, tokoh nasional, dan akademisi.
Wali Nanggroe mengingat kembali pengalamannya sebagai Kepala Delegasi Gerakan Aceh Merdeka pada perundingan di Helsinki 20 tahun lalu. Ia menyebut proses itu bukan sekadar politik, tetapi juga penyembuhan kolektif.
“Perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk memahami dan menghargai satu sama lain. Perjanjian Helsinki adalah warisan bersama Aceh dan Indonesia, simbol kemenangan akal sehat dan cinta kepada rakyat,” ujarnya.
Kini, lanjutnya, ia hadir sebagai Wali Nanggroe, simbol pemersatu rakyat Aceh, dengan amanah menjaga kesinambungan adat, sejarah, dan budaya, serta mengingatkan bahwa perdamaian yang ada hari ini adalah hasil keberanian masa lalu.
Ia menegaskan, perdamaian bukan akhir, melainkan awal perjuangan baru menuju keadilan, pembangunan, dan pemenuhan hak-hak rakyat Aceh sebagaimana dijanjikan dalam MoU dan UUPA.
“Momentum 20 tahun ini harus menjadi titik evaluasi dan revitalisasi semangat perdamaian. Implementasi perjanjian damai bukan hanya soal administrasi, tetapi menjaga kepercayaan dan membangun masa depan yang damai serta setara,” katanya.
Kepada generasi muda, Wali Nanggroe berpesan agar menjadi penjaga damai, bukan pewaris luka. Ia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak di Aceh, pemerintah pusat, komunitas internasional, CMI, dan Pemerintah Finlandia yang telah menjaga perdamaian.
Mengakhiri pernyataannya, ia mengutip hikmah:
“Orang yang paling kuat bukanlah yang mampu menaklukkan musuh, tetapi yang mampu menaklukkan egonya demi perdamaian.”
Wali Nanggroe hadir didampingi Anggota Majelis Tuha Peut Prof. Syahrizal Abbas, Anggota Tuha Lapan Drs. Kamaruddin, Staf Khusus Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man), Dr. Muhammad Raviq, Dr. Rustam Efendi, dan Khatibul Wali Abdullah Habusllah. []