Aceh Tamiang, Derita yang Berkepanjangan

Syukurdi M

DONYAPOST, Aceh Tamiang — Derita warga Aceh Tamiang belum berakhir sejak banjir besar melanda wilayah itu pada Kamis, 27 November 2025. Hingga hampir sepekan, kondisi masyarakat setempat dan para musafir yang terjebak dalam perjalanan menuju Medan masih sangat memprihatinkan.

Sejumlah bus dan kendaraan pribadi yang rusak akibat terendam air kini terparkir di badan jalan. Armada tersebut gagal melanjutkan perjalanan menuju Medan karena akses yang tertutup banjir.

Sementara penduduk lokal terpaksa mengungsi ke tempat-tempat lebih tinggi seperti lantai dua masjid, sekolah, gedung kantor, gedung olahraga, bahkan di atas ruko yang sebagian besar dimiliki warga keturunan Tionghoa. Terdapat lebih dari 50 titik pengungsian tersebar di berbagai lokasi.

Meski air mulai surut, wilayah yang terdampak masih dipenuhi lumpur tebal, tumpukan sampah, dan gelondongan kayu dari hulu sungai. Kondisi ini membuat warga belum bisa kembali ke rumah masing-masing dan harus bertahan di tempat pengungsian.

Situasi semakin sulit karena listrik, sinyal telepon, dan internet telah padam selama enam hari. Pada malam hari, kawasan terdampak gelap gulita dan hubungan komunikasi antara warga, pemerintah, dan keluarga yang berada di luar daerah terputus total.

Para musafir yang terjebak di Aceh Tamiang juga tak bisa menghubungi keluarganya, menambah kecemasan bagi pihak yang menunggu kabar.

Di sisi lain, bantuan logistik berupa makanan, air minum, dan pakaian sangat terbatas. Hingga hari keempat bencana, banyak warga yang belum menerima bantuan pangan. Upaya distribusi dari pemerintah daerah belum mencukupi karena persediaan terbatas.

Bantuan dari luar daerah sulit masuk karena akses darat terputus dan hanya memungkinkan melalui jalur udara. Kekurangan logistik ini membuat warga, terutama anak-anak dan balita, berada dalam ancaman kelaparan.

Fasilitas kesehatan pun lumpuh. Rumah sakit, puskesmas, gudang farmasi, klinik swasta, apotek, dan ambulans terdampak banjir. Banyak tenaga medis juga menjadi korban di rumah masing-masing. Akibatnya, warga yang sakit tidak mendapatkan pelayanan medis memadai karena minimnya tenaga kesehatan, obat-obatan, dan sulitnya akses menuju pasien.

Upaya evakuasi dan distribusi bantuan terkendala oleh kondisi Aceh Tamiang yang terisolasi. Dari arah Medan, jalur darat lumpuh akibat banjir di Km 54 Tol Berandan, Tanjung Pura, Berandan, dan Besitang di Sumatera Utara.

Meski air di kawasan tersebut mulai surut pada hari keempat, akses menuju Aceh Tamiang hingga Selasa, 2 Desember 2025, belum dapat dilalui. Dua titik longsor di Seumadam dan Alur Gantung masih menutup badan jalan, sementara sejumlah titik lainnya tergenang air, termasuk di depan Makodim.

Dari arah Bireuen dan Lhokseumawe, jembatan putus dan kawasan yang masih terendam banjir membuat jalur alternatif juga tertutup. Dalam kondisi serba terbatas ini, warga Aceh Tamiang berharap bantuan segera datang.

“Jangan biarkan kami terus menderita dan mati perlahan,” ujar Syukurdi M, salah seorang warga, mewakili keluh-kesah masyarakat yang kini berjumlah lebih dari 370.000 jiwa dan tengah berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan.

Ia menyerukan agar Presiden Republik Indonesia, BNPB, TNI–Polri, BUMN, kementerian terkait, organisasi kemanusiaan, serta Pemerintah Aceh segera mengerahkan bantuan lebih besar.

Menurutnya, negara memiliki armada pesawat, helikopter, kapal laut, kendaraan taktis, hingga peralatan pembangunan jembatan dan jalan darurat yang dapat dipakai menembus wilayah terisolasi tersebut.

“Kami tahu negara memiliki tenaga medis, dokter ahli, peralatan kesehatan, hingga generator lapangan dan PLTD apung. Semua itu sangat mungkin digunakan untuk membantu kami,” ujarnya.

Warga kini hanya bisa menunggu dengan penuh harap agar bantuan segera tiba dan kondisi Aceh Tamiang bisa pulih kembali.