DONYAPOST, Banda Aceh — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar Seminar Nasional bertajuk “Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam KUHP Baru”, di Aula Gedung Pascasarjana, Jumat (24/10/2025).
Kegiatan ini menghadirkan tiga pakar hukum nasional: Hakim Konstitusi RI Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, pakar hukum pidana UII Dr. Aroma Elmina Martha, dan mantan Dekan Fakultas Hukum USK Dr. M. Gaussyah. Seminar dipandu oleh Dr. Delfi Suganda, SH, LLM, dan dibuka langsung oleh Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag.
Rektor Mujiburrahman menegaskan, isu kriminalisasi dan dekriminalisasi sering disalahpahami publik sebagai bentuk ketidakpastian hukum. Padahal, menurutnya, dua konsep itu merupakan bagian penting dari pembaruan hukum nasional agar lebih berkeadilan dan selaras dengan perkembangan sosial.
“Tanpa proses kriminalisasi dan dekriminalisasi yang tepat, hukum bisa kehilangan sisi kemanusiaannya,” ujar Mujiburrahman.
Ia mencontohkan kasus ganja di Aceh yang secara historis digunakan sebagai bumbu masakan, tetapi dalam sistem hukum modern dikategorikan sebagai zat terlarang.
“Di Jerman, ganja dilegalkan untuk medis dan bernilai ekonomi tinggi. Pertanyaannya, apakah hukum nasional kita bisa membuka ruang dekriminalisasi untuk kepentingan medis dan ekonomi masyarakat?” katanya.
Mujiburrahman juga menyoroti banyaknya anak muda Aceh yang terjerat kasus ganja. Ia menilai, kebijakan hukum pidana harus mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan kearifan lokal agar tidak menimbulkan dampak sosial baru.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Dr. Daniel Yusmic menjelaskan, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan membentuk norma pidana baru.
“MK berfungsi sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Kami tidak menciptakan norma, tetapi memastikan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.
Menurutnya, permohonan kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan bukan kewenangan MK, melainkan bagian dari politik hukum pidana yang menjadi ranah legislatif.
Sejalan dengan itu, Dr. Aroma Elmina Martha menambahkan bahwa kebijakan pidana tetap ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Ia juga menyoroti potensi Qanun Jinayat Aceh sebagai living law yang bisa memperkaya hukum nasional.
“Pasal 2 dan 3 KUHP baru mengakui hukum yang hidup di masyarakat. Ini peluang besar untuk mensinergikan Qanun Jinayat dengan KUHP nasional,” ujarnya.
Adapun Dr. M. Gaussyah menekankan pentingnya pendekatan berbasis kearifan lokal dalam penegakan hukum pidana.
“Norma sosial seperti rasa malu dan tanggung jawab kolektif adalah benteng moral pertama sebelum hukum bekerja,” katanya.
Ia menawarkan empat model sinkronisasi hukum pidana, yakni: Koordinatif antara pusat dan daerah, Rekognitif melalui pengakuan nilai lokal, Integratif lewat penerapan restorative justice, dan Edukatif melalui pendidikan hukum berbasis nilai lokal dan maqasid syariah.
Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Dr. Muji Mulia, menilai seminar ini relevan dengan tantangan penegakan hukum modern. “Kriminalisasi dan dekriminalisasi bukan hanya isu hukum pidana, tapi juga menyangkut nilai sosial, moral, dan politik hukum,” ujarnya.
Ia berharap forum ini menjadi ruang dialog bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk merumuskan arah hukum nasional yang lebih humanis dan kontekstual.
Seminar ini diikuti oleh sivitas akademika, mahasiswa, dan praktisi hukum dari berbagai lembaga. Kegiatan ini menegaskan pentingnya sinkronisasi antara hukum nasional dan lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
