DONYAPOST, Banda Aceh — Dua dekade silam, Perjanjian Damai Helsinki menjadi tonggak bersejarah bagi Aceh setelah lebih dari 30 tahun dilanda konflik. Namun, menjaga damai bukan perkara mudah.
Dibutuhkan keberanian, ketulusan, dan sosok-sosok yang hadir di tengah masyarakat untuk menjembatani masa lalu dengan masa depan.
Salah satunya adalah Aipda Rosita Rahayu, satu-satunya polisi wanita (Polwan) dari Polda Aceh yang dipercaya bergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM), misi internasional yang memantau implementasi perjanjian damai tahun 2005.
Saat itu, Rosita masih berpangkat Bripda dan bertugas di Intelkam. Ia ditempatkan di wilayah bekas titik panas konflik seperti Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Timur.
Hampir setiap hari, ia menyusuri desa, berdialog dengan warga, dan memastikan butir-butir kesepakatan damai berjalan sebagaimana mestinya. “Waktu itu, rasa takut kami kubur dalam-dalam. Yang penting Aceh damai, masyarakat aman,” kenangnya.
Bekerja di bawah komando Kombes Pol Arief Wicaksono—kini Ketua Harian Kompolnas—dan Iptu Muhayat Effendi yang kini menjabat Wakapolres Aceh Utara, Rosita menjadikan pendekatan humanis sebagai kunci meredakan ketegangan.
Kehadirannya tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga jembatan yang menumbuhkan kembali rasa percaya antara masyarakat dan negara.
Kini, Polwan kelahiran 1984 itu bertugas di Bidang Humas Polda Aceh. Meski peran berbeda, semangatnya tetap sama: menjembatani, menyampaikan informasi yang akurat, dan membangun komunikasi yang sehat antara institusi dengan masyarakat.
Atas kiprahnya, Aipda Rosita Rahayu menerima piagam penghargaan dari Kompolnas yang diserahkan langsung oleh Ketua Harian Kompolnas Drs. Arief Wicaksono di Aula Machdum Sakti Polda Aceh, Selasa (23/9/2025).
Ia dinilai sebagai wajah Polri yang humanis, hadir bukan dengan senjata, melainkan keberanian untuk mendengar dan merangkul masyarakat.
Selain Rosita, penghargaan juga diberikan kepada Kompol Muhayat Effendie, AKP Maijoni, AKP Aziz, serta dua aparatur sipil negara Pemprov Aceh, Ir. Muklis dan Fatma Baiduri. Kompolnas menilai kontribusi mereka nyata dalam mendukung implementasi MoU Helsinki sebagai tonggak perdamaian di Aceh.
Dari jejak Rosita, kita belajar bahwa kekuatan tidak selalu lahir dari senjata, melainkan dari ketulusan hati untuk hadir, mendengar, dan menjembatani. []





