Indeks

Aksara Jawi, Siapa Peduli?

Oleh TA Sakti

TA Sakti, budayawan Aceh

SEIRING dengan masuknya agama Islam ke Aceh dan Nusantara, masyarakat di wilayah ini mulai mengenal huruf Arab. Lama-kelamaan, dengan penyesuaian seperlunya, huruf Arab itu dapat digunakan untuk menulis bahasa Melayu, sehingga aksara tersebut disebut huruf Arab Melayu.

Melalui tulisan Arab Melayu inilah, selama berabad-abad, para pengarang di Aceh dan Asia Tenggara telah menghasilkan beribu-ribu karya tulis mereka yang kini dinamakan manuskrip Arab Melayu.

Bahasa Melayu Aceh (yaitu dari Kerajaan Pasai) berperan penting dalam tradisi pemakaian Arab Melayu. Tak diragukan lagi, ulama Aceh-lah yang telah menggunakan tulisan Arab Melayu secara luas dalam berbagai kitab karangan mereka. Oleh sebab itu, tulisan Arab Melayu mungkin juga telah ditaja pada awalnya oleh para ulama di Aceh. Karena tulisan ini juga memiliki beberapa ragam (versi), maka ragam Arab Melayu yang dipakai di Aceh mungkin merupakan yang tertua.

Memang tidak berlebihan bila penulis berpendapat bahwa huruf Arab Melayu ditulis pertama kali di Aceh. Sampai sejauh ini, tulisan Jawi tertua yang pernah dijumpai adalah surat Sultan Aceh kepada Raja Inggris.

Akibat masuknya huruf Latin yang diperkenalkan kolonial Barat, popularitas huruf Arab Melayu dari waktu ke waktu semakin surut. Ujung dari desakan huruf Latin itu mengakibatkan mayoritas masyarakat Aceh dan Nusantara dewasa ini nyaris tidak dapat lagi membaca naskah dalam huruf Arab Melayu.

Dalam upaya menyelamatkan warisan peradaban nasional itu, kini sangat diharapkan munculnya berbagai inisiatif pelestarian manuskrip-manuskrip tersebut, seperti melakukan transliterasi ke huruf Latin, penerjemahan ke bahasa Indonesia, serta menerbitkannya guna diedarkan kembali sebagai bahan bacaan masyarakat luas. Upaya pelestarian inilah yang secara kecil-kecilan telah penulis lakukan sejak tahun 1992 hingga saat ini.

Setiap bangsa yang telah mencapai peradaban tinggi pasti memiliki aksara (huruf) sendiri karena telah mengenal budaya baca-tulis dalam kehidupan mereka. Kita dapat melihat, hingga hari ini, bangsa Korea, Jepang, Tiongkok, Arab—mereka semua memiliki aksara sendiri yang tetap dipelihara dan digunakan hingga kini, meski juga menggunakan aksara Latin.

Kita, bangsa Indonesia, juga pernah menggunakan berbagai macam aksara sejak zaman purbakala. Salah satunya yang pernah dipakai oleh bangsa kita di Nusantara ini adalah huruf Arab Melayu atau aksara Jawi.

Aksara ini merupakan jenis huruf yang sangat berjasa dalam mempersatukan suku-suku bangsa yang mendiami tiap-tiap pulau di kepulauan Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi bangsa Indonesia.

Surat-menyurat dalam hubungan diplomatik antara kerajaan-kerajaan di Nusantara selalu menggunakan huruf Jawi yang berasal dari huruf Arab. Begitu juga para ulama dan cendekiawan pada masa itu, yang menulis kitab dan buku guna menyebarkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan tulisan Jawi. Maka, boleh dikatakan, tidak ada seorang pun pada masa itu yang buta huruf.

Di Aceh, penggunaan huruf Jawi saat itu sangat meluas. Kesusasteraan Aceh yang umumnya berbentuk puisi diucapkan atau ditulis dalam bahasa Aceh dengan sebutan hikayat. Sementara itu, sastra Aceh dalam bentuk prosa umumnya bersifat mantera. Sejumlah kitab-kitab agama juga ditulis dalam bahasa Aceh. Selain itu, karya tulis dalam bahasa Melayu ditulis menggunakan huruf Jawi.

Memang sesungguhnya, jasa aksara Jawi ini tak terbantahkan oleh siapa pun karena hal tersebut merupakan kenyataan sejarah. Tulisan Jawi bukanlah kebudayaan asing bagi bangsa Indonesia sejak dahulu kala, tetapi telah menjadi kebudayaan sendiri yang mendarah daging.

Dalam era Indonesia merdeka, perhatian pemerintah terhadap penulisan Arab Melayu sempat tumbuh kembali, namun tidak berlangsung lama. Pada saat itu, pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu telah diajarkan di tingkat sekolah dasar. Namun, sekitar tahun 1960-an, pelajaran tersebut dihapus, kemungkinan besar akibat desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang merajalela saat itu.

Sebatas pengetahuan penulis, khusus di Aceh, sejak beberapa tahun lalu, tulisan Arab Melayu diajarkan kembali dengan nama Tulisan Arab Indonesia (TAI). Namun, pembelajaran ini masih perlu ditingkatkan, terutama dalam pengadaan buku bacaan atau pedoman penulisan Arab Melayu, serta pelatihan khusus bagi para guru tentang bahan ajar tersebut.

Perkembangan terakhir dari penulisan Arab Melayu di Aceh adalah keluarnya Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tanggal 1 Muharram 1423 H atau 16 Maret 2002 M, yang menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Jawi di Bumi Aceh, Serambi Mekkah.

Sejauh pengamatan penulis, sebagian isi instruksi tersebut memang telah dijalankan, khususnya dalam penulisan nama kantor, lembaga, dan toko menggunakan huruf Arab Melayu di samping huruf Latin. Akan tetapi, penulisan Arab Melayu pada lembaga-lembaga tersebut masih salah kaprah karena masih banyak kaidah-kaidah penulisan yang diabaikan.

Meneruskan Politik Penjajahan
Diplomat besar Indonesia, Haji Agus Salim, pernah menyatakan sikapnya terhadap huruf Arab Jawi. Haji Agus Salim adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pertama, dan konon menguasai 12 bahasa. Dengan judul “Meneruskan Politik Penjajahan,” Haji Agus Salim berkata:

“Maka pemerintah kita dan pelbagai partai, perhimpunan, perserikatan, dan lembaga-lembaga masyarakat mencurahkan usaha, tenaga, dan biaya untuk memberantas buta huruf Latin dan menyiarkan bacaan-bacaan dengan menggunakan huruf Latin saja. Dengan demikian, kita meneruskan politik penjajahan di masa yang lalu itu, yang sengaja hendak menghapuskan baca-tulis dengan huruf Arab dan melenyapkan segala bacaan huruf Arab dari kalangan masyarakat kita.”

“Bahaya dan bencana keadaan itu untuk kebudayaan kita yang asli, dasar yang sehat untuk mencapai kemajuan kebudayaan sesuai dengan budi pekerti dan akhlak yang menjadi pokok asli dari pada bangsa kita, patut sekali dipikirkan oleh pemerintah dan pemimpin-pemimpin serta pemuka-pemuka kita semua.”

“Mungkinkah kita akan mendapatkan kemajuan kebudayaan jika terlebih dahulu kita membiarkan luput pokok kebudayaan yang sebesar-besarnya itu?”

Berdasarkan kutipan dari buku Seratus Tahun Jejak Langkah Haji Agus Salim, dengan jelas dapat kita pahami betapa seriusnya masalah aksara Jawi menurut pendapat beliau. Intinya, penghapusan mata pelajaran huruf Jawi (bahasa Aceh: harah Jawoe) dalam sistem pendidikan di Indonesia merupakan bahaya dan bencana besar bagi kebudayaan bangsa Indonesia.

Memang, sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa masa penjajahan di Indonesia merupakan masa penggusuran dan penghapusan besar-besaran terhadap kebudayaan bangsa kita.

Dalam rangka menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Melayu di Aceh, Pemerintah Daerah Aceh perlu mewajibkan pengajaran huruf Arab Melayu (huruf Jawi) di setiap jenjang pendidikan—baik di sekolah umum, madrasah, maupun dayah/pesantren. Fasilitas yang memadai perlu disediakan secara tetap setiap tahun anggaran.

Guna menumbuhkan rasa cinta yang lebih mendalam terhadap huruf Arab Melayu, Pemda Aceh atau lembaga terkait perlu lebih sering mengadakan pameran dan lomba penulisan Arab Melayu, disertai dengan hadiah yang membanggakan bagi para pemenangnya.

Para calon pejabat eksekutif dan legislatif di Aceh tidak hanya diwajibkan mampu membaca Al-Qur’an, tetapi juga perlu diwajibkan lancar membaca dan menulis tulisan Arab Melayu (Jawoe), karena huruf Jawi yang berkembang di Nusantara itu berasal dari Aceh.

Exit mobile version