Indeks
Opini  

OPINI: Hijrah Intelektual dan Transformasi Keilmuan

Sekretaris ISNU Aceh Dr Rahmad Syah Putra

Oleh: Rahmad Syah Putra*

Bulan Muharram bukan sekadar penanda awal dalam kalender Hijriah. Ia merepresentasikan semangat perubahan umat Islam, yang diwarisi dari peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah—sebuah transisi monumental dari penindasan menuju kemerdekaan, dari kegelapan menuju pencerahan, dan dari keterasingan menuju masyarakat madani yang adil dan inklusif.

Kini, 1 Muharram 1447 H hadir di tengah berbagai tantangan zaman yang semakin kompleks. Kita menyongsong tahun baru Islam ini di era disrupsi, saat dunia dilanda krisis multidimensi: dari perubahan iklim, ketimpangan sosial, hingga polarisasi ekstrem akibat derasnya arus informasi yang kerap tak terkendali. Dalam realitas ini, umat Islam tidak cukup hanya menjadi bagian dari perubahan—kita dituntut untuk tampil sebagai subjek utama yang memimpin perubahan, yang bermakna dan bernilai.

Sebagai organisasi keilmuan di bawah panji Nahdlatul Ulama, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Aceh memaknai momen Tahun Baru Islam ini sebagai ajakan untuk melakukan “hijrah intelektual”—yakni, berpindah dari kejumudan menuju dinamika pemikiran, dari pasifisme akademik menuju aktivisme keilmuan, dan dari kepuasan intelektual menuju kontribusi nyata bagi umat, masyarakat, dan bangsa.

Hijrah sebagai Cermin Peradaban
Hijrah Nabi SAW bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi perubahan paradigma dan transformasi peradaban. Ketika hijrah diabadikan sebagai awal kalender Islam, para sahabat memahami bahwa yang dikenang bukan hanya langkah geografis, tetapi simbol perubahan visi besar umat Islam—visi yang berdiri di atas fondasi tauhid, keadilan, persaudaraan, dan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks Aceh—yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah” dan memiliki kekhususan dalam menjalankan syariat Islam—semangat hijrah menjadi sangat relevan. Kita perlu bertanya ulang: apakah kekayaan warisan keislaman kita telah dikelola dengan arif? Apakah ia telah memberi dampak nyata terhadap kualitas pendidikan, kesejahteraan sosial, dan kemajuan masyarakat?

Sebagai sarjana Muslim, kita tidak cukup hanya pandai mengutip dan mengkaji teks. Kita juga dituntut untuk membaca realitas sosial secara jernih dan reflektif. Hijrah intelektual berarti berani keluar dari zona nyaman akademik, berpihak pada masyarakat yang membutuhkan penerangan—baik dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga kebudayaan.

Tantangan Zaman dan Tuntutan Hijrah Intelektual
Era digital telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara fundamental. Teknologi berkembang pesat, namun nilai-nilai kemanusiaan sering kali terpinggirkan. Masyarakat dibanjiri informasi, tetapi miskin kemampuan literasi kritis. Narasi keislaman pun kerap tereduksi menjadi wacana sempit, populis, bahkan destruktif.

Dalam situasi ini, ISNU Aceh menyerukan pentingnya hijrah intelektual: gerakan pembaruan pemikiran berbasis nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ini adalah panggilan bagi para sarjana Muslim untuk tidak larut dalam euforia gelar, tetapi berani terlibat dalam dinamika sosial guna menyelesaikan problem umat.

Hijrah intelektual juga berarti memperkuat epistemologi keilmuan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu dunia. Sejarah telah menunjukkan bahwa ulama besar seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, hingga Al-Zarnuji adalah cendekiawan yang menjadikan ilmu sebagai sarana penciptaan kebaikan dan kemajuan peradaban, bukan semata status akademik.

Momentum Strategis Peran Sarjana NU
Sebagai bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama, ISNU memikul tanggung jawab besar untuk memperkuat peran strategis sarjana Nahdliyin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Aceh khususnya, sarjana NU dituntut tampil sebagai pemikir sekaligus pelaku perubahan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah.

Tantangan kita ke depan adalah bagaimana menjadikan keilmuan sebagai motor penggerak transformasi masyarakat. ISNU Aceh mendorong lahirnya kolaborasi lintas disiplin, sinergi antara akademisi dan praktisi, serta keberanian menyuarakan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keadilan di ruang-ruang publik.

Hijrah ke depan harus mencakup tiga poros utama:
Hijrah Pemikiran: dari nalar sempit ke nalar terbuka dan solutif;
Hijrah Pendidikan: dari sistem pasif ke pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan;

Peringatan 1 Muharram 1447 H bukan semata seremoni spiritual, tetapi momentum strategis untuk menyusun kembali agenda keummatan. Di tengah kondisi Aceh yang masih menghadapi berbagai tantangan—rendahnya mutu pendidikan, ketimpangan ekonomi, dan lemahnya kapasitas tata kelola—ISNU Aceh berkomitmen untuk hadir sebagai mitra kritis sekaligus solutif bagi semua elemen.

Kami mendorong kampus, pesantren, lembaga riset, dan organisasi keilmuan untuk bersinergi membangun ekosistem keilmuan yang berpihak pada kemaslahatan umat. Mari kita jadikan tahun ini sebagai tahun peningkatan kapasitas, tahun penguatan kolaborasi, dan tahun pengabdian yang lebih konkret.

Hijrah adalah perjalanan suci. Ia bukan hanya fisik, tetapi batiniah. Bukan sekadar sejarah, tetapi arah masa depan. Dalam semangat 1 Muharram 1447 H, ISNU Aceh mengajak seluruh sarjana Muslim untuk melakukan refleksi mendalam dan menyusun langkah nyata dalam menyongsong perubahan.

Mari kita perbarui niat, kita perkuat tekad, dan kita nyalakan kembali api keilmuan yang tercerahkan. Sebab, sejatinya, sarjana sejati bukan hanya yang berilmu, tetapi yang memanfaatkan ilmunya untuk kemajuan umat, bangsa, dan kemanusiaan.

Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Semoga menjadi titik awal hijrah bersama menuju kehidupan yang lebih bermakna, adil, dan penuh keberkahan. []

 

Penulis adalah akademisi & Sekretaris PW ISNU Aceh
e-mail: rahmatsyahp815@gmail.com

Exit mobile version