Oleh: Dr. H. Taqwaddin Husin, S.H., S.E., M.S.
Ketua MPW ICMI Aceh, Akademisi dan Praktisi Hukum
Beberapa hari lalu, saya diundang sebagai narasumber dalam Seminar Cendekiawan yang digelar oleh Pemuda ICMI Aceh, membahas akselerasi pengembangan sektor migas dan tambang di Aceh menuju tata kelola berkelanjutan dan berkeadilan. Forum ini menghadirkan para tokoh penting dari kalangan birokrasi, akademik, dan institusi strategis seperti BPMA.
Dalam sesi saya, saya menegaskan bahwa isu pengelolaan sumber daya alam (SDA)—khususnya sektor pertambangan dan migas—tidak hanya soal teknis atau investasi, melainkan juga berkaitan erat dengan fondasi konstitusional dan keadilan hukum. Aceh, dengan statusnya yang diakui sebagai daerah istimewa dan memiliki kekhususan melalui UU No. 44/1999 dan UU No. 11/2006 (UUPA), seharusnya berdiri pada pijakan hukum yang kokoh dalam mengelola SDA-nya sendiri. Tapi, realitasnya jauh dari harapan.
Pasal 18B UUD 1945 mengakui daerah dengan kekhususan dan keistimewaan. Dalam hal ini, Aceh memiliki 26 kekhususan, termasuk hak pengelolaan SDA dan pembentukan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Tapi ironis, di balik semua legalitas itu, Aceh masih memimpin dalam daftar kemiskinan di Sumatra, peringkat keenam nasional dalam korupsi, dan IPM kita terperosok di posisi 27 nasional.
Potensi SDA luar biasa, tapi angka-angka itu seolah menampar kita: ada yang tidak beres dalam pengelolaan, bahkan sejak dari soal kewenangan.
Masalahnya bukan hanya pengelolaan, tetapi penguasaan hukum. Dalam hukum, “penguasaan” adalah dasar atas hak dan kewenangan. Tanpa penguasaan, pengelolaan menjadi cacat secara hukum dan rapuh secara administratif.
Sayangnya, di Aceh, hak penguasaan yang telah diatur dalam UUPA sering kali dikebiri oleh regulasi nasional seperti UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut kewenangan kabupaten/kota dalam urusan tambang dan migas.
Pasal 156 UUPA menegaskan bahwa Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memiliki wewenang mengelola SDA, baik di darat maupun laut. Tapi dalam UU Pemda terbaru, kewenangan itu justru ditarik ke pusat. Ini bukan sekadar tumpang tindih administratif, tapi konflik filosofis antara semangat otonomi substantif dan sentralisasi kekuasaan.
Begitu pula dengan sektor migas. UUPA jelas menyebutkan pengelolaan bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, melalui BPMA. Badan ini dibentuk bukan karena PP, melainkan karena mandat UU. Maka, secara hukum, BPMA tidak bisa dibubarkan kecuali melalui perubahan undang-undang. Tapi dalam praktik, posisi BPMA kerap dipersempit oleh tafsir sempit birokrasi nasional.
Solusi
Jika konflik regulasi tidak kunjung diselesaikan, maka yang akan rugi adalah rakyat Aceh. Maka saya mengusulkan tiga langkah konkret:
Gunakan asas lex specialis derogate lex generalis: UUPA sebagai lex specialis harus menjadi rujukan utama di Aceh, bukan UU umum nasional yang datang kemudian.
Bangun kesepakatan strategis antara Gubernur Aceh dan Menteri ESDM: Seperti solusi yang digunakan dalam penyelesaian kisruh empat pulau beberapa waktu lalu, kebijakan berbasis pacta sunt servanda bisa menjadi alternatif penyelesaian konflik kewenangan secara damai namun mengikat.
Libatkan kampus dan masyarakat sipil dalam setiap perumusan kebijakan tambang dan migas: Keputusan investasi tak bisa hanya diputuskan elite, tetapi harus dipandu oleh aspirasi rakyat, etika lingkungan, dan data saintifik.
Jangan Lagi Jadi Penonton
Aceh harus mulai membangun SDM unggul dan beretos industri tinggi. Jangan sampai ketika investasi migas dan tambang mulai masuk besar-besaran, kita hanya menjadi penonton. Jangan sampai sumber rezeki di tanah kita malah dinikmati oleh orang luar, sementara masyarakat lokal hanya mengais sisa-sisa.
Sudah waktunya Aceh tidak hanya punya kewenangan di atas kertas, tetapi juga daya kuasa yang nyata dalam pengelolaan sumber dayanya. Jika tidak, semua keistimewaan dan kekhususan itu tak lebih dari sekadar judul manis dalam dokumen hukum yang tak bertaji. [a]