DONYAPOST, Banda Aceh — Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Aceh menyampaikan apresiasi tinggi atas keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan empat pulau sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
Ketua ICMI Aceh, Dr. Taqwaddin, menilai keputusan ini bukan hanya koreksi kebijakan, tapi pelajaran penting dalam tata kelola negara.
“Kami para cendekiawan Aceh yang tergabung dalam ICMI memberi apresiasi yang tinggi kepada Presiden Prabowo atas kearifan dan kebijaksanaannya mengembalikan 4 pulau Aceh kepada Aceh,” ujar Taqwaddin saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Selasa sore (17/6/2025).
Empat pulau yang dimaksud—Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—sebelumnya secara administratif sempat tercantum dalam wilayah Sumatera Utara akibat kesalahan teknis kebijakan peta rupabumi nasional sejak 2008.
Menurut Taqwaddin, sengketa ini bukanlah konflik antarmasyarakat atau antar kepala daerah. “Tidak ada konflik antara warga Aceh dan warga Sumut, juga tidak ada sentimen antara Mualem dan Bobby. Yang terjadi hanyalah kekeliruan administratif oleh Kemendagri. Mengapa ini bisa terjadi, tidak usah lagi kita perdebatkan,” jelasnya.
Namun, dari pengalaman ini, Taqwaddin menyerukan adanya langkah strategis ke depan. Ia mengusulkan agar Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh segera menyusun Qanun tentang Perlindungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh.
Menurutnya, payung hukum lokal dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan wilayah sekaligus mengelola potensi sumber daya secara bijak.
“Sudah saatnya kita memiliki regulasi khusus. Jangan sampai kita kecolongan lagi. Pulau-pulau kecil ini bukan sekadar titik koordinat, tetapi menyimpan potensi besar dan menjadi bagian dari identitas Aceh,” tegasnya.
Taqwaddin juga mengingatkan bahwa pengaturan ini mungkin akan bersinggungan dengan pembagian kewenangan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena itu, ia menyarankan agar Aceh menggunakan prinsip lex specialis derogat legi generali, sebagaimana dijamin dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ditambah kesepakatan bersama dengan kementerian terkait.
“Inilah iktibar penting dari kebijakan Presiden Prabowo. Beliau menyelesaikan kekeliruan kebijakan sebelumnya melalui mekanisme kesepakatan antarpihak, yang secara hukum berlaku seperti undang-undang. Ini bisa jadi model penyelesaian konflik kebijakan di masa depan,” jelasnya.
Taqwaddin, yang juga menjabat sebagai Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor, mengajak semua pihak menjadikan keputusan ini sebagai pijakan untuk memperkuat perlindungan kawasan pesisir serta mendorong pembangunan maritim berbasis masyarakat.