Indeks
Berita  

TAJUK: Saatnya Pemerintah Aceh Bertindak Strategis

Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketet dan Mangkir Gadang yang menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, sebelum diputuskan Mendagri masuk Sumut, April 2025. Google Maps

DONYAPOST — Penetapan empat pulau — Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan — sebagai bagian sah dari wilayah Provinsi Aceh adalah penegasan penting bahwa suara sejarah dan dasar hukum Aceh masih dihargai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keputusan ini bukan sekadar pengembalian batas administratif, melainkan juga pemulihan marwah dan pengakuan terhadap dokumen-dokumen hukum yang selama ini menjadi fondasi hubungan antara Aceh dan Jakarta: MoU Helsinki 2005, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan UU Nomor 24 Tahun 1956.

Penetapan tersebut juga sekaligus meredam kegaduhan akibat pernyataan beberapa pejabat pusat yang mempertanyakan relevansi dasar hukum Aceh dalam menentukan status wilayah. Kini, dengan legitimasi dari pemerintah pusat, tidak ada alasan lagi bagi Pemerintah Aceh untuk diam atau pasif. Momentum ini harus dijadikan pijakan untuk melangkah lebih strategis ke depan.

Menjaga Martabat, Mengelola Kewenangan

Ada enam langkah penting yang harus segera ditempuh oleh Pemerintah Aceh. Pertama, penguatan regulasi formal di tingkat daerah, baik melalui qanun maupun revisi dokumen RTRW, untuk memastikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam rencana pembangunan wilayah Aceh secara sah dan terencana.

Kedua, pelibatan aktif masyarakat lokal. Pulau-pulau tersebut tidak boleh hanya menjadi objek proyek pemerintah atau kepentingan investor luar. Harus ada pendekatan berbasis komunitas, yang menghargai kearifan lokal dan menjaga ekosistem laut secara berkelanjutan.

Ketiga, Pemerintah Aceh didorong membentuk lembaga teknis khusus — misalnya Badan Otorita Kepulauan Aceh — untuk menangani pengelolaan, pengamanan, dan pengembangan kawasan secara fokus dan terstruktur.

Langkah keempat adalah memperkuat jalur diplomasi antar-lembaga. Koordinasi dengan Kemendagri, KKP, dan TNI AL penting untuk menjamin sinergi kebijakan, terutama menyangkut batas maritim, pengawasan, dan pengembangan ekonomi pesisir.

Kelima, penetapan ini harus dijadikan pintu masuk untuk menagih realisasi kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam UUPA, termasuk urusan kelautan, perikanan, dan pertanahan yang selama ini masih macet di tingkat nasional.

Terakhir, Pemerintah Aceh harus memimpin proses sosialisasi dan edukasi publik. Empat pulau ini harus dijadikan simbol kesadaran sejarah, bukan sekadar angka dalam peta. Generasi muda perlu memahami bahwa ini adalah bagian dari perjuangan panjang rakyat Aceh dalam merawat perjanjian damai dan hak-haknya sebagai daerah istimewa.

Dari Luka Sejarah ke Langkah Perubahan

Keputusan ini sepatutnya menjadi pelajaran penting bahwa Aceh bukan hanya bagian dari republik — tetapi salah satu fondasi sejarah lahirnya Indonesia. Sejarah Aceh bukan untuk dilupakan, apalagi direduksi dalam debat yuridis sempit. Ia adalah ingatan kolektif bangsa, yang harus dihargai dengan sikap bijak dan bermartabat.

Pengakuan atas empat pulau ini bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab besar: membuktikan bahwa Aceh mampu mengelola wilayahnya secara adil, damai, dan berdaulat — dalam kerangka NKRI yang menghormati perbedaan dan sejarah.

Jika Pemerintah Aceh gagal membaca momentum ini, maka peluang emas ini akan menjadi episode yang lewat begitu saja. Tetapi jika mampu bertindak cerdas dan tepat, maka sejarah akan mencatatnya sebagai titik balik kedaulatan rakyat Aceh yang dijalankan dengan kepala tegak dan hati damai.

Exit mobile version