DONYAPOST, Bandung — Tim Pembinaan dan Pelaksanaan MoU Helsinki dari Lembaga Wali Nanggroe menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait lambannya penyelesaian penormaan teknis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Catatan tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI di Bandung, 2 Juni 2025.
Pertemuan ini dihadiri Ketua Tim Dr. Muhammad Raviq bersama anggota tim, serta Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Hernadi, S.H., M.H.
Diskusi berfokus pada penyusunan rancangan peraturan presiden (perpres) berbasis pendekatan omnibus law sebagai solusi percepatan implementasi UUPA.
Dr. Raviq menyoroti masih banyaknya permasalahan teknis yang menghambat pelaksanaan UUPA, meski telah hampir dua dekade disahkan.
“Ada empat masalah utama: belum adanya NSPK penyelenggaraan Pemerintah Aceh; empat dari sembilan PP yang diamanahkan belum disusun; sejumlah norma tidak dapat diterapkan karena ketiadaan aturan pelaksana; dan perlunya sinkronisasi UUPA dengan regulasi sektoral,” jelas Raviq yang juga menjabat Staf Khusus Wali Nanggroe.
Ia menilai pendekatan omnibus law dalam rancangan Perpres dapat menjadi solusi komprehensif untuk menertibkan tata kelola pemerintahan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh.
Namun, pendekatan ini masih akan dikaji lebih lanjut bersama Pusat Studi Konstitusi dan Negara (PSKN) FH Universitas Padjadjaran. “Pilihan metodenya masih terbuka, yang penting hasilnya tepat dan berpihak pada kepentingan Aceh,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Hernadi menyampaikan bahwa Kemenkumham siap mendukung proses harmonisasi regulasi di Aceh. “Kami akan bantu sepenuhnya. Soal bentuk hukumnya, apakah Perpres atau PP, akan kita rumuskan bersama secara teknis,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa omnibus law bukan hal baru dalam sistem hukum Indonesia. “Sudah ada UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan lainnya. Bukan mustahil Aceh juga bisa menggunakan pendekatan serupa,” tambahnya.
Pertemuan penting ini turut disaksikan langsung oleh Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar, Wali Nanggroe Aceh, yang didampingi Khatibul Wali Abdullah Hasbullah dan sejumlah anggota tim lainnya.
Kehadiran beliau menunjukkan dukungan penuh terhadap upaya penyelarasan regulasi sebagai bagian dari implementasi MoU Helsinki.
Baik pihak Aceh maupun Kemenkumham sepakat, percepatan pelaksanaan UUPA membutuhkan instrumen hukum tambahan.
“Untuk mempercepat implementasi UUPA, memang diperlukan aturan pelaksana yang mampu mengharmonisasikan dengan regulasi sektoral lainnya. Ini bagian dari amanah MoU Helsinki,” pungkas Hernadi.
Pertemuan ini menjadi langkah awal menuju terobosan regulasi yang diharapkan memperkuat otonomi Aceh dan mempercepat pembangunan berbasis perdamaian yang telah dirintis hampir dua dekade lalu.[]