Indeks

Dari Krueng Raya ke Leupueng: Melacak Doa Warga Aceh untuk Tsunami

TA Sakti, budayawan Aceh

Oleh: T.A. Sakti*

Selasa pagi, 27 Mei 2025, bertepatan dengan 29 Beurapet 1446 TH atau 29 Zulkaidah 1446 H, kami berempat bertolak menuju Krueng Raya. Perjalanan ini bukan sekadar ziarah geografis menyusuri garis pantai Aceh Besar, tetapi juga ziarah batin untuk menelusuri jejak ingatan masyarakat atas bencana tsunami yang mengguncang Aceh dua dekade silam.

Anggota rombongan kami adalah Bang Mahdi alias Cut Tek, Bang Ismail (IH), Eli Wani—penulis Novel Riwayat T.A. Sakti—dan saya sendiri. Kami ingin mencari bukti bahwa masyarakat pesisir Aceh Besar, dari Krueng Raya hingga Leupueng, setiap tahun memanjatkan doa dan menggelar kenduri arwah pada tanggal 14 Zulkaidah atau dalam istilah lokal dikenal sebagai 14 Beurapet.

Tanggal ini dipercaya sebagai momentum spiritual memperingati musibah tsunami, berdasarkan penanggalan Hijriah yang diwariskan turun-temurun.

Sejak lama, saya memendam pertanyaan dalam batin: “Apakah masyarakat Aceh hanya memperingati tsunami pada 26 Desember, atau ada bentuk lain dari peringatan yang lebih senyap namun bermakna?”

Pertanyaan ini mulai terjawab ketika saya berkunjung ke Gampong Miruek Lam Reudeup, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, pada 27 Desember 2024 lalu.

Di sana, saya bertemu dengan seorang budayawan sekaligus mantan geuchik (kepala desa). Dari dialah saya pertama kali mengetahui bahwa warga di berbagai kampung Aceh memang menggelar kenduri arwah secara rutin setiap 14 Zulkaidah.

Sejak 2018, saya mulai menulis gagasan ini lewat pesan WhatsApp, mengusulkan agar Peringatan Tsunami Aceh dilaksanakan dalam dua versi: versi nasional (dan internasional) setiap 26 Desember, serta versi lokal (gampong) setiap 14 Zulkaidah.

Berbekal Buku Gampong
Untuk perjalanan kali ini, kami membawa sebuah buku tipis berjudul Hikayat Aceh – Rawon Gampong Aceh Besar, karya Medya Hus dan diterbitkan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tahun 2018.

Buku ini memuat daftar dan ciri khas gampong-gampong di Aceh Besar. Saya menandai kampung-kampung pesisir dari Krueng Raya hingga Leupueng dengan stabilo merah—itulah wilayah yang kami telusuri.

Di Keude Krueng Raya (keude berarti pasar), kami sempat berhenti di sebuah warung kopi yang agak tersembunyi dari jalan raya. Di sana kami berbincang dengan warga, salah satunya adalah adik kandung dari penyair terkenal Syekh Rih Krueng Raya.

Ia berbagi kisah tentang pengalaman pribadinya saat tsunami menerjang kampung mereka, yang terdiri dari tiga gampong.

Perjalanan kami berlanjut ke Kecamatan Leupueng, kecamatan terakhir yang kami jajaki hari itu. Di antara kampung-kampung yang kami lewati, Lam Seunia menjadi salah satu titik yang paling menggetarkan.

Seorang warga menceritakan kisah empat nelayan yang sedang melaut saat tsunami terjadi. Ketika kembali ke darat, kampung mereka—Lam Seunia—sudah lenyap. Tak ada satu pun rumah yang tersisa. Keempat nelayan itu pun menjadi satu-satunya saksi hidup dari kampung yang seakan ditelan laut.

Medya Hus dalam bukunya menulis syair berbahasa Aceh tentang wilayah ini, yang di antaranya berbunyi:

Cit nam boh gampong meu ujong laot, deungo lon seubot wahe syedara…
(Ada enam kampung di ujung laut, dengarkan saudaraku kusebutkan satu per satu…)

Kutipan syair ini merekam bukan hanya nama kampung, tapi juga identitas kultural dan ingatan kolektif atas tragedi dan harapan.

Catatan yang Akan Berlanjut
Perjalanan kami hari itu menempuh jarak sekitar 100 kilometer, menurut hitungan Bang Cut Tek. Tapi catatan ini baru permulaan. Masih banyak kisah dan pengalaman yang belum sempat kami tuliskan.

Nantinya, insya Allah, saya akan uraikan lebih panjang-lebar—tentang doa-doa yang dipanjatkan dalam sunyi, kenduri yang digelar tanpa sorotan kamera, dan ingatan yang dirawat oleh masyarakat pesisir, jauh dari panggung seremonial.

Karena Aceh, sesungguhnya, tak hanya mengingat tsunami lewat upacara. Tapi juga lewat wirid dan kenduri, lewat air mata diam-diam, lewat Beurapet yang disimpan di dada.

* Penulis adalah budayawan Aceh

Exit mobile version