Indeks
Opini  

Masa Depan Bahasa Aceh: Menyelamatkan dan Menumbuhkan

Rahmat Zuliansyah

Oleh Rahmat Zuliansyah* 

Bahasa adalah bagian penting dari identitas dan budaya sebuah masyarakat. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga penyimpan nilai, sejarah, dan cara pandang suatu komunitas. Di Aceh, bahasa daerah yang dulunya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kini mulai jarang terdengar, terutama di kalangan generasi muda.

Dalam pergaulan, pendidikan, bahkan di lingkungan keluarga, Bahasa Aceh perlahan mulai ditinggalkan dan tergantikan oleh bahasa lain yang dianggap lebih praktis atau modern.

Beberapa mahasiswa magister bahasa mengamati bahwa Bahasa Aceh kini lebih sering dijadikan bahan studi akademik daripada digunakan secara aktif dalam percakapan. Mereka menyadari bahwa semakin sedikit orang yang mampu dan mau menggunakan Bahasa Aceh dalam keseharian. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama karena mereka menyadari nilai budaya yang terkandung di dalam bahasa tersebut.

Situasi ini menunjukkan bahwa masa depan Bahasa Aceh sedang berada di titik yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada upaya untuk mempertahankannya, maka Bahasa Aceh bisa benar-benar hilang dari kehidupan generasi berikutnya. Inilah alasan mengapa pembahasan tentang masa depan Bahasa Aceh menjadi sangat penting untuk dilakukan saat ini.

Bahasa Aceh selama ini menjadi simbol kebanggaan dan identitas masyarakat Aceh. Namun, kenyataannya hari ini tidak seindah masa lalu. Bahasa Aceh perlahan mulai tergeser oleh bahasa Indonesia yang lebih dominan dalam dunia pendidikan, pemerintahan, dan media.

Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, terutama di kota-kota, Bahasa Aceh jarang digunakan. Bahasa asing seperti Inggris juga semakin populer, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa, yang sering kali menganggap bahasa daerah kurang bergengsi atau tidak relevan.

Di ruang publik, Bahasa Aceh nyaris tak terdengar. Di sekolah, penggunaannya terbatas, bahkan sering hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran muatan lokal.

Di media digital, Bahasa Aceh kalah bersaing dengan konten berbahasa Indonesia dan Inggris. Hal ini mempercepat penurunan jumlah penutur aktif, khususnya di kalangan generasi muda yang lebih akrab dengan bahasa nasional dan global.

Mahasiswa magister bahasa pun merasakan ironi yang mendalam. Mereka belajar teori linguistik dan pentingnya pelestarian bahasa, namun pada saat yang sama melihat Bahasa Aceh terpinggirkan di lingkungan mereka sendiri.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: untuk siapa ilmu yang mereka pelajari, jika bahasa daerah yang menjadi identitas mereka sendiri perlahan menghilang tanpa perlawanan?

Beberapa upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan Bahasa Aceh dari ancaman kepunahan. Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan telah menginisiasi program revitalisasi seperti pelajaran muatan lokal di sekolah, penyusunan kamus Bahasa Aceh, dan pembuatan buku cerita anak dalam bahasa daerah.

Beberapa komunitas juga mulai mendokumentasikan cerita rakyat dan tradisi lisan dalam bentuk video atau teks. Namun, langkah-langkah ini belum cukup kuat untuk membalikkan keadaan.

Tantangan terbesar datang dari sikap masyarakat sendiri. Banyak orang tua yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya, karena dianggap lebih modern dan berguna.

Dukungan kebijakan pun masih terbatas, sehingga program pelestarian sering terhenti atau tidak berjalan secara berkelanjutan. Generasi muda juga menunjukkan minat yang rendah terhadap Bahasa Aceh, karena menganggapnya sulit, ketinggalan zaman, atau tidak memiliki nilai praktis.

Di tengah tantangan ini, mahasiswa dan akademisi memiliki peran penting. Mereka bisa menjadi penggerak dalam pendokumentasian bahasa, menciptakan bahan ajar, hingga mengembangkan media pembelajaran berbasis teknologi.

Mereka juga dapat menjadi jembatan antara dunia akademik dan masyarakat, menyuarakan pentingnya pelestarian bahasa sebagai bagian dari menjaga identitas dan kearifan lokal yang mulai terlupakan.

Era digital membuka peluang baru untuk menumbuhkan kembali Bahasa Aceh yang mulai terlupakan. Media sosial kini menjadi ruang luas di mana bahasa bisa hidup dan berkembang, terutama di kalangan anak muda. Video edukatif, konten kreatif, hingga game dengan tema budaya Aceh dapat menarik minat generasi baru untuk belajar dan menggunakan bahasa daerah mereka.

Platform-platform digital ini memungkinkan Bahasa Aceh tidak hanya menjadi materi pembelajaran, tetapi juga bagian dari gaya hidup modern.

Teknologi juga berperan besar dalam pelestarian bahasa. Kamus daring dan aplikasi belajar Bahasa Aceh mulai dikembangkan untuk memudahkan siapa saja mempelajari bahasa ini kapan saja dan di mana saja.

Podcast yang mengangkat cerita rakyat dan tradisi Aceh semakin diminati, memberikan cara baru bagi generasi muda untuk mengenal budaya leluhur mereka secara interaktif dan menyenangkan.

Peran Mahasiswa dan Akademisi di Era Digital

Mahasiswa pascasarjana khususnya memiliki peluang besar untuk mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan Bahasa Aceh dalam pendidikan formal dan nonformal.

Selain itu, mereka dapat menciptakan proyek kreatif yang memadukan bahasa dan budaya lokal dengan teknologi modern, seperti pembuatan modul digital, video pembelajaran, dan komunitas daring. Dengan inovasi seperti ini, Bahasa Aceh bukan hanya diselamatkan, tetapi juga tumbuh dan berkembang seiring zaman.

Bahasa adalah akar yang menguatkan identitas sebuah bangsa, bukan sekadar warisan yang bisa disimpan di lemari sejarah tanpa pernah disentuh. Bahasa membawa nilai-nilai budaya, sejarah, dan cara pandang yang unik, yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Bagi generasi muda, khususnya mereka yang tengah menempuh pendidikan linguistik dan bidang pendidikan, tanggung jawab besar kini berada di tangan mereka. Mereka bukan hanya penerus ilmu, tetapi juga penjaga dan penggerak utama dalam menjaga serta menghidupkan kembali Bahasa Aceh agar tidak punah dan tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Filosofi Aceh mengajarkan bahwa bahasa adalah cerminan jiwa dan kebanggaan masyarakat. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi identitas yang mempersatukan dan mengikat masyarakat dalam nilai-nilai luhur.

Hilangnya bahasa sama halnya dengan hilangnya bagian penting dari diri dan budaya kita. Oleh karena itu, setiap langkah kecil dalam melestarikan bahasa daerah merupakan kontribusi besar dalam menjaga keberlangsungan warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

Jika hari ini kita memilih untuk diam dan membiarkan Bahasa Aceh terus terlupakan, jangan heran jika suatu saat nanti tidak ada lagi yang bisa kita ajak bicara menggunakan bahasa leluhur ini. Masa depan Bahasa Aceh bergantung pada kesadaran dan tindakan kita sekarang.

Mari bersama-sama mengambil peran aktif agar bahasa ini tetap hidup dan menjadi jembatan penghubung yang kokoh antara generasi lama dan generasi baru, serta menjadi sumber kekuatan budaya Aceh yang tak lekang oleh waktu. [dp]

 

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Magister Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Exit mobile version