Opini  

Mahasiswa Magister dan Ancaman Kepunahan Bahasa Aceh

Zahara Fonna Mahasiswa Prodi Magister Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Oleh Zahara Fonna*

Bahasa daerah adalah cerminan identitas, sejarah, dan jiwa kolektif suatu masyarakat. Di Indonesia, dengan lebih dari 700 bahasa lokal, kekayaan ini menjadi aset kebudayaan yang luar biasa. Namun, di tengah gempuran globalisasi dan dominasi bahasa nasional, banyak bahasa daerah berada di ambang kepunahan—termasuk bahasa Aceh.

Bahasa Aceh yang dulu menghidupi ruang-ruang sosial, budaya, dan spiritual masyarakat kini semakin terpinggirkan. Di kota-kota seperti Banda Aceh, penggunaan bahasa Aceh di ruang publik dan keluarga mulai tergeser oleh bahasa Indonesia, bahkan oleh bahasa asing seperti Inggris.

Fenomena ini tak hanya soal pergeseran bahasa, tapi juga pergeseran identitas. Dalam konteks ini, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, sebagai calon pendidik dan intelektual masa depan, memegang peran penting. Mereka bukan hanya saksi atas hilangnya bahasa ibu, tetapi juga seharusnya menjadi garda depan pelestariannya.

Dari pengamatan dan diskusi dengan sejumlah mahasiswa program magister, terlihat bahwa mereka menyadari pentingnya pelestarian bahasa Aceh. Bagi mereka, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga warisan budaya yang menyimpan nilai sejarah, moral, dan filosofi hidup orang Aceh. Kepunahan bahasa Aceh akan menjadi kehilangan besar, bukan hanya secara linguistik, tetapi juga secara sosial dan budaya.

Sayangnya, kesadaran ini belum sepenuhnya diiringi dengan aksi nyata. Banyak mahasiswa menyampaikan bahwa meski mereka paham secara teoritis, implementasi dalam bentuk penelitian, pengabdian masyarakat, atau pengembangan kurikulum lokal masih sangat terbatas. Padahal, sebagai aktor pendidikan, mereka memiliki potensi besar dalam melakukan revitalisasi bahasa daerah, seperti menyusun bahan ajar berbasis budaya lokal, mendokumentasikan kosakata dan sastra Aceh, hingga mengintegrasikan muatan lokal dalam strategi pembelajaran.

Langkah awal yang disarankan sebagian besar mahasiswa adalah memperkenalkan bahasa Aceh sejak dini dalam sistem pendidikan. Bahasa Aceh, menurut mereka, semestinya menjadi bagian dari kurikulum sekolah dasar dan menengah di Aceh. Tidak hanya diajarkan sebagai mata pelajaran, tetapi juga dihidupkan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan dan membumi, seperti cerita rakyat, drama tradisional, atau puisi berbahasa Aceh.

Namun, upaya pelestarian bahasa tidak cukup hanya dari institusi pendidikan. Peran keluarga dan komunitas juga sangat vital. Banyak mahasiswa menilai bahwa di lingkungan rumah tangga perkotaan, bahasa Aceh jarang lagi digunakan secara aktif. Orang tua lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia karena dianggap lebih “modern” dan relevan secara sosial. Padahal, pendidikan bahasa ibu di rumah adalah fondasi penting bagi kecintaan dan pelestarian bahasa lokal.

Karena itu, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia mendorong keterlibatan lebih luas dari tokoh adat, seniman, dan pemerintah daerah. Festival bahasa, lomba sastra Aceh, pertunjukan seni tradisional, serta kampanye media sosial bisa menjadi media efektif untuk menghidupkan kembali bahasa Aceh di kalangan anak muda.

Tak kalah penting adalah advokasi kebijakan. Mahasiswa memiliki kapasitas intelektual dan jaringan akademik untuk mendorong lahirnya kebijakan daerah yang mendukung pelestarian bahasa Aceh. Kolaborasi dengan lembaga adat, dinas pendidikan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan program strategis yang berkelanjutan.

Tentu, ini bukan perjuangan jangka pendek. Melestarikan bahasa Aceh membutuhkan waktu, kesabaran, dan sinergi antar berbagai pihak. Tapi selama masih ada kepedulian, kesadaran, dan komitmen kolektif, harapan itu masih hidup. Mahasiswa magister bisa memulainya dari ruang kelas, dari tugas akhir mereka, dari komunitas kampus yang mereka hidupi hari ini.

Bahasa adalah jantung kebudayaan. Bila bahasa Aceh mati, maka sebagian jati diri kita ikut terkubur. Maka, tugas mahasiswa bukan hanya merawat pengetahuan, tetapi juga menjaga napas warisan leluhur agar tetap hidup dan bermakna bagi generasi mendatang.

 

Penulis adalah Mahasiswa Prodi Magister Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh