DONYAPOST, Banda Aceh – Ratusan penyandang thalasemia dari berbagai daerah di Aceh berkumpul untuk memperingati Hari Thalasemia Sedunia, Selasa malam (13/5/2025).
Kegiatan yang digagas oleh Yayasan Darah untuk Aceh ini bertujuan mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa para penyandang thalasemia juga berhak mendapat perhatian demi keberlangsungan hidup mereka.
Namun, lebih dari sekadar seruan untuk kepedulian, kegiatan bertajuk Family Gathering Thalasemia Aceh ini juga mendorong penyandang thalasemia untuk memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri.
Pendiri Yayasan Darah untuk Aceh, Nurjannah Husien, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa hingga tahun 2025, Aceh masih menjadi provinsi dengan jumlah pembawa sifat thalasemia (carrier) tertinggi di Indonesia.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Di satu sisi kita sedang mempersiapkan generasi emas Indonesia, namun di sisi lain, banyak generasi muda berpotensi kehilangan masa depan karena thalasemia jika tidak ditangani serius,” ujar Nurjannah.
Ia menambahkan bahwa tantangan besar saat ini adalah mendorong pemerintah Aceh membuat regulasi yang inklusif bagi penyandang thalasemia, terutama dalam hal akses terhadap pekerjaan.
“Banyak dari mereka tersingkir hanya karena syarat administratif berupa surat keterangan sehat. Ini tidak adil, karena banyak penyandang thalasemia memiliki kualitas pendidikan sangat baik,” ujarnya.
Nurjannah menyambut baik kabar bahwa tahun ini ada beberapa penyandang thalasemia di Aceh yang berhasil lolos seleksi PPPK dan CPNS.
“Ini kemajuan luar biasa. Semoga semakin banyak penyandang thalasemia yang bisa berprestasi dan mendapat tempat yang layak di dunia kerja,” katanya.
Surya Riski, salah satu penyandang thalasemia di Aceh, juga mengingatkan pentingnya membangun kepercayaan diri dari dalam.
“Yang terpenting bukan bagaimana orang lain memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri sendiri. Dengan begitu, motivasi untuk menjalani hidup dengan kualitas yang sama seperti orang lain akan tumbuh,” kata Surya.
Kepala Instalasi Sentra Thalasemia dan Hemofili RSUD Zainoel Abidin (RSUDZA), dr. Heru Noviat Herdata, Sp.A, menyebutkan, saat ini lebih dari 500 penyandang thalasemia rutin menjalani transfusi darah di RSUDZA.
“Mereka bukan penderita sakit dalam arti konvensional. Mereka hanya tidak mampu memproduksi sel darah merah sendiri dan harus dibantu melalui transfusi rutin. Selebihnya, mereka bisa menjalani hidup normal seperti anak-anak lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Aceh, Iman Murahman, MKM, menegaskan bahwa pihaknya mendorong skrining dini melalui pemeriksaan darah gratis bagi calon pengantin, ibu hamil, dan balita.
“Skrining ini penting agar kita bisa mendeteksi bibit thalasemia sejak dini dan melakukan penanganan sedini mungkin,” ujarnya.

Kondisi Thalasemia di Aceh
Thalasemia merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan umur sel darah merah sangat pendek. Penyandang thalasemia mayor umumnya memerlukan transfusi darah rutin seumur hidup.
Indonesia termasuk dalam wilayah sabuk thalasemia dunia. Menurut WHO, sekitar 3–10% penduduk membawa gen thalasemia β (beta), dan 2,6–11% membawa gen thalasemia α (alfa). Diperkirakan, 2.500 bayi di Indonesia lahir dengan thalasemia mayor setiap tahun.
Di Aceh, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi carrier thalasemia mencapai 13,4%, tertinggi di Indonesia. Pada awal 2024, Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 673 penyintas thalasemia di Aceh.
Jumlah ini diperkirakan telah melebihi 1.000 orang, baik yang menggunakan BPJS untuk transfusi maupun yang belum mengakses layanan kesehatan.
Peningkatan kasus ini seperti bola salju—terus bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini dipicu oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya skrining thalasemia sebelum menikah, serta belum adanya intervensi kebijakan dari pemerintah untuk pencegahan di tingkat keluarga maupun masyarakat umum.