Indeks
Berita  

Malik Mahmud dan Hamid Awaluddin, Bahas Rencana Penambahan Batalyon TNI di Aceh

Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar menerima kunjungan silaturrahmi dari Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM RI yang juga tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh, pada Senin (5/5/2025) di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar.

DONYAPOST, Aceh Besar – Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar menerima kunjungan silaturrahmi dari Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM RI yang juga tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh, pada Senin (5/5/2025) di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar.

Pertemuan ini turut dihadiri oleh Staf Khusus Wali Nanggroe DR. M. Raviq, Teuku Kamaruzaman (Ampon Man), DR. Rustam Effendi, Sekjen Partai Aceh Aiyub Abbas, Ketua Komisi I DPRA Tgk. Muharuddin, serta anggota DPR Aceh Azhari M Nur Haji Maop.

Salah satu topik utama yang dibahas adalah rencana Pemerintah Pusat menambah empat batalyon TNI di Aceh.

Hamid Awaluddin menanggapi rencana ini dengan mempertanyakan urgensi dan relevansinya.

“Saya baru tahu soal ini. Maka saya ajukan dua pertanyaan: apa urgensinya dan apa relevansinya?” ujar Hamid. Ia menilai, jika pemerintah bisa menjelaskan dua hal tersebut secara terbuka, masyarakat bisa menilainya secara objektif.

Namun, tanpa penjelasan yang masuk akal, wajar jika masyarakat merasa resah. “Itu komentar saya, karena saya belum terlalu mendalami,” tambahnya.

Sebelumnya, Wali Nanggroe sudah menyampaikan bahwa rencana penambahan batalyon tersebut bertentangan dengan butir-butir perjanjian damai antara RI dan GAM (MoU Helsinki 2005).

“Selama 20 tahun damai, rakyat Aceh merasa aman dan percaya bahwa pemerintah komit pada MoU Helsinki. Bahkan eks kombatan GAM ikut menjaga keamanan,” kata Tgk. Malik.

Ia juga menyinggung kondisi geopolitik regional yang saat ini relatif stabil. Hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Australia juga baik-baik saja.

“Kalau ada ancaman dari luar, rakyat Aceh bisa diharapkan untuk ikut mempertahankan negeri ini. Sejarah membuktikan, Aceh pernah melawan Portugis lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun, dan Jepang 3,5 tahun,” ujar Wali Nanggroe.

Menurutnya, kepercayaan dan komitmen pada perjanjian damai adalah kunci pertahanan yang paling kokoh sekaligus jalan menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Ia juga mengingatkan bahwa salah satu poin sensitif dalam MoU Helsinki dulu adalah soal jumlah pasukan TNI dan Polri di Aceh.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA Tgk. Muharuddin juga menyampaikan keprihatinan. Ia menilai pembangunan empat batalyon tanpa koordinasi dengan Pemerintah Aceh bisa merusak rasa saling percaya yang menjadi fondasi perdamaian.

“Aceh punya kewenangan khusus. Kalau penempatan pasukan besar dilakukan secara sepihak, ini bisa mengabaikan kekhususan Aceh dan memicu ketegangan politik,” tegasnya.

Tgk. Muharuddin juga mengingatkan dampak psikologis yang bisa muncul. Ia menyebut kehadiran militer dalam jumlah besar tanpa sosialisasi yang cukup bisa memunculkan rasa takut, trauma kolektif, bahkan memperkuat sentimen anti-pusat yang mulai reda sejak damai ditegakkan.

Exit mobile version