Indeks

FOTO: Pelaku Ekonomi Kreatif di Aceh tanpa Dukungan Pemerintah

Ibu-Ibu Merajut Asa: Minim Dukungan, Tapi Penuh Semangat

Suasana sejuk dan nyaman terasa begitu memasuki Le Rasa Café, sebuah kafe bernuansa rumah adat Aceh di kawasan Ateuk Munjeng, Baiturrahman. Di bawah kolong rumah panggung itu, bukan hanya kopi dan teh yang tersaji. Ada semangat dan ketekunan yang sedang dirajut oleh sekelompok ibu rumah tangga.

Mereka duduk melingkar, tangan-tangan terampil sibuk membuat pin cushion—bantal kecil untuk jarum pentul. Tak sekadar mengisi waktu luang, kegiatan ini adalah bagian dari workshop kecil-kecilan yang digagas oleh Kak Yuni, pemilik produk Dibea Hand’s, bersama dua rekannya, Kak Mala dan Kak Etty.

Ketiganya dikenal aktif mempromosikan kerajinan tangan lokal, sembari mengajak ibu-ibu lainnya untuk belajar dan berkarya. “Saya hanya ingin ibu-ibu punya kegiatan positif. Dari hobi, bisa jadi penghasilan,” ujar Kak Yuni.

Meski kegiatan kecil ini digelar di sela-sela arisan yang berlangsung selepas Ashar, semangat mereka tak kecil. Sebuah pameran mini turut digelar, memajang karya-karya rajutan seperti tas tangan, aksesoris, hingga produk hiasan rumah. Semuanya buatan tangan, penuh detail dan ketekunan.

Sayangnya, di balik semangat yang besar, ada kenyataan yang terasa getir: perhatian dari pemerintah nyaris tak ada. Contoh kecil, saat mengikuti acara tertentu, seperti pameran. Biaya sewa lapak kerap menjadi kendala utama.

“Kami ingin tampil di banyak tempat, tapi kadang biayanya tidak terjangkau,” tambak Kak Etty. Diakuinya, bantuan promosi atau fasilitasi dari instansi terkait pun masih sangat minim.

Padahal, menurut mereka, kerajinan tangan lokal punya nilai yang lebih dari sekadar estetika. “Ini bukan cuma soal bikin barang lucu-lucu. Ini tentang ketelatenan, kesabaran, dan rasa cinta pada karya sendiri,” tambah Kak Mala.

Mereka berharap, ke depan, pemerintah atau pihak swasta bisa lebih peduli terhadap gerakan kecil namun penuh dampak ini. “Kami ingin anak-anak muda Aceh bangga memakai produk lokal. Bukan cuma memburu merek dan kecepatan, tapi juga menghargai proses dan makna di baliknya,” tutup Yuni.

Di tengah arus digital dan budaya instan, ibu-ibu ini sedang menunjukkan bahwa tangan-tangan yang sabar bisa menenun harapan baru—asal diberi ruang dan dukungan yang layak. Semoga.

 

Exit mobile version