Berita  

Empat Pakar Hukum, Termasuk Eks Wakil KPK Isi Seminar RUU KUHAP di Aceh

DONYAPOST, Banda Aceh — Empat pakar hukum Indonesia, baik dari akademisi maupun praktisi mengisi seminar nasional terkait Rancangan Undang-Undang KUHAP, menyusul disahkannya KUHP baru melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023.

Seminar itu dilaksanakan oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian di Aula Moot Court USK, Kamis (17/4/2025). Para nasumber yang mengisi seminar adalah, Wakil Ketua KPK periode 2015–2019 Laode M. Syarif, S.H., LL.M., Ph.D.,Guru Besar Fakultas Hukum USK Prof. Dr. Rizanizarli, S.H., M.H, akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dr. Alpi Sahari, S.H., M.Hum dan Sekretaris DPC Peradi Aceh Dr. Syahrul Rizal, S.H., M.H.

Dalam paparan materinya, Laode M. Syarif, menilai bahwa RUU KUHAP 2025 yang saat ini sedang diwacanakan oleh pemerintah memiliki peluang sekaligus ancaman. Peluangnya adalah adanya modernisasi hukum acara pidana, sementara ancamannya, baik pemerintah maupun DPR dinilai masih cenderung bersikap konservatif.

“Peluang lainnya adalah menyempurnakan mekanisme check and balance. Namun, ancamannya adalah aparat penegak hukum (APH), baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim, enggan untuk diawasi. Selain itu, upaya menyeimbangkan crime control model dan due process of law juga masih menghadapi tantangan karena APH dan DPR masih cenderung berpihak pada crime control model,” ujar Laode.

Laode juga mengingatkan, revisi KUHAP jika tidak dikaji dan ditelaah mendalam bisa menjadi instrumen legal untuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman suara publik.

“Negara hukum harus dibangun di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, bukan ketakutan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum lainnya, Dr. Alpi Sahari menegaskan bahwa kewenangan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan prinsip Dominus Litis tidak dapat dimaknai sebagai pemisahan kewenangan, melainkan pembagian kewenangan dalam bingkai Integrated Criminal Justice System dengan Prime Mover penyidik sebagai pintu gerbang penanganan perkara.

Lebih lanjut dijelaskannya, Dominus Litis penuntut umum yang dimaknai sebagai pemisahan kewenangan (diferensiasi fungsional) tidak selaras dengan cita-cita hukum nasional melainkan kembali pada pemberlakuan hukum acara pada zaman kolonial Belanda, yakni Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang sudah lama ditinggalkan sejak Tahun 1981.

Sejalan dengan itu, Prof. Dr. Rizanizarli menyoroti tujuan diadakan pembatasan kekuasaan terhadap masing-masing lembaga, agar kekuasaan itu tidak menumpuk pada satu lembaga, hal ini dilakukan untuk menghindari dominasi satu lembaga.

“Kekuasaan penyidikan yang dulunya menjadi dominus litis kejaksaan dipisahkan dengan diberikannya kepada pihak kepolisian. Hal ini dikuatirkan jika kekuasaan menumpuk pada satu lembaga rentan untuk disalahgunakan. Pembagian kekuasaan ini diharapkan terdapat mekanisme kontrol (beck and balances) dan saling mengawasi antar lembaga,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Rizanizarli revisi KUHAP perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat Indonesia, sekaligus meninggalkan warisan regulasi kolonial (HIR) yang sudah tidak relevan.

Narasumber terakhir, Dr. Syahrul Rizal, mengingatkan pentingnya memastikan posisi advokat tetap aman dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia menyoroti bahwa meskipun RUU KUHAP memuat ketentuan advokat tidak dapat dituntut selama bertindak dengan itikad baik, ketidakjelasan definisi “itikad baik” justru berpotensi menjadi pasal karet.

Dalam sesi diskusi, beberapa peserta mengusulkan agar draf RUU KUHAP dibuka untuk uji publik di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang selama ini sering mengalami ketimpangan hukum.

“RUU ini bukan hanya urusan para ahli di Jakarta. Kami yang di daerah juga punya hak untuk didengar,” ujar seorang peserta dari LSM lokal.

Sebagai kesimpulan, seluruh narasumber sepakat bahwa RUU KUHAP berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum, khususnya antara Polri dan Kejaksaan. Oleh karena itu, RUU ini perlu dirancang dengan menekankan aspek koordinasi dan pengawasan antarlembaga secara lebih tegas dan sistematis.

RUU KUHAP sejatinya diharapkan menjadi instrumen pembaruan hukum acara pidana yang progresif, adaptif, dan memperkuat sinergi antar-lembaga penegak hukum, bukan malah menciptakan potensi konflik kewenangan.[]