Budaya Aceh Membenci Si Pemalas!

Tukok Jok Tukok U, Na Buet Na Bu!

TA Sakti, budayawan Aceh

Oleh TA Sakti

ETOS budaya Aceh pada dasarnya/aslinya amat menghargai orang- orang yang rajin bekerja. Sebaliknya sangat benci kepada orang malas. Lukisan sikap budaya Aceh terhadap kedua jenis perilaku manusia ini, tercermin lewat kristal-kristal budaya yang masih diwariskan.

Penghargaan kepada mereka yang jeumot (rajin) sering tersentil dalam percakapan sehari-hari. “Nyang meurot cit leumo teumbon!” (Orang kaya, memang orang yang rajin!).

Para pedagang obat pada uroe gantoe atau hari pekan-seminggu sekali- selalu mengawali gelaran dagangannya dengan hadih maja/pepatah: “tapak jak urat nari, na tajak na raseuki!” (kaki berjalang-jalan melenggang, Insya Allah rezeki pun datang!).

Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang berkeyakinan bahwa Allah Swt. Telah ‘menaburkan’ rezeki segenap makhlukNya ke muka bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya. “meunye hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau bukan lewat usaha, tak mungkin harta jatuh dari langit).

Bila mendambakan keberhasilan, berusahalah sekuat tenaga, peras keringat, banting tulang; sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh secara gratis. “Raseuki ngen tagagah, tuwah ngen tamita. Tuwah meubagi-bagi, raseuki meujeumba-jeumba!” (Rezeki harus diusahakan, keberuntungan/tuah mesti dicari.

Tapi keberuntungan setiap orang berbeda-beda). Pepatah Aceh di atas mengajarkan, bahwa dalam soal untung atau malang nasib seseorang itu, takdir Tuhan juga berperan.

Ini pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa; akibat kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam kegiatan berusaha. Tapi yang jelas, “Meugrak jaroe, meu-ek igoe “( Singsingkan lengan, dapatlah mangan/makan).

Sikap budaya Aceh yang membenci pemalas, juga banyak tercermin dalam penuturan masyarakat. “Peue dale kho siuroe seuntoek, kon tabeudohlaju tajak mita boh-boh sidom!” (Kerjamu melulu hanya nongkrong sepanjang waktu, kan lebih baik segera berangkat mencari ‘telur-telur semut’). “Bak sibeu-o uteuen pi luah, bak si malaih raya that dawa!” (Watak sipemalas adalah mengelak kerja dengan bertengkar; mencari-cari alasan).

Kesemua pepatah Aceh itu adalah sindiran tajam yang “menusuk hati” bagi pendengar yang berprilaku demikian. Lebih-lebih bila yang menyindirnya orang-orang yang amat diseganinya, seperti mertua, orangtua, dan isteri.

Malah dalam ‘Hikayat Ranto” diungkapkan, bahwa sindiran-sindiran itulah tempo doelu yang menyebabkan banyak warga Pidie tergerak merantau ke belahan barat Aceh, yakni ke suatu tempat yang dikenal “Blang Pidie” sekarang.

Salah satu contoh sindiran mertua yang amat berkesan buat sang menantu begini :”cuih, cuih, cuih; ka beudoh hai Leumo, peue ka eh trok ‘an cot uroe!. Pajan cit ka meurot!” (cis,cis,cis, bangunlah hai Lembu, sudah tengah hari, kapan lagi kau cari makan). Demikian celoteh sang mertua; sambil melempari sesuatu ke bawah kolong rumah Acehnya; yang memunculkan bunyi “geureukham-geureukhummm!!.

Masih amat banyak ungkapan lainnya yang bernada meremehkan si pemalas. “Hana peue shot buleuen ngen ujong sadeuep!” (Tak usah menjolok bulan dengan ujung sabit). Ungkapan ini disindirkan kepada orang-orang yang sering duduk termenung/melamun.

Bek preh dahoh” (Jangan hanya menunggu melulu, berusahalah!). “Peue preh geuleupak gob top” (Jangan hanya mengharap belas kasihan orang).

Namun masih ada ‘pernyataan budaya Aceh” yang mungkin paling ekstrim tentang tanggung-jawab berkehidupan di dunia ini. Besar kemungkinan, ungkapan itu keluar dari pimpinan yang memiliki banyak anak buah atau pekerjanya seperti toke atau mandor. “Tukok jok tukok u, na buet na bu!” (Pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau sudah kerja). Sungguh sadis!!!.

Biarpun memiliki pupuk budaya kerja, yang menyanjung orang yang rajin serta ‘mengutuk’ si pemalas; bukan berarti sang pemalas tidak mempunyai sandaran kemalasannya.

Di antara petitih yang mendukung sifat malas, yaitu : “Atra sikai hanjeuet sicupak, barang ho tajak kadumnan kada!” (Soal rezeki sudah ditentukan Tuhan, tak bisa diubah).

Hadirnya ungkapan ini bersumber dari kumpulan kekecewaan. Akibat gagal yang bertubi-tubi, yang tak mapu diatasi. Mulai dari sinilah berkecambahnya sifat malas menodai seseorang. Nanun, jika ‘penyakit malas’ mendapat obat mujarab selagi dini, besar kemungkinan akan
bisa normal kembali. Insya Allah! []