DONYAPOST, Banda Aceh — Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melakukan pertemuan dengan Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Malik Mahmud Al-Haytar, Selasa (21/5/2024).
Rombongan yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi VI DPR Aceh, Tgk Anwar Keulibeut beserta rombongannya berlangsung di Meuligoe Wali Nanggroe Banda Aceh. Turut hadir Tgk Muhammad Yunus (Partai Aceh), Dr. Amiruddin Idris (PPP), Kartini Ibrahim (Gerindra), Tu Haidar (PNA) dan Asmanuddin (Demokrat).
Ketua Komisi VI DPR Aceh, Tgk Anwar Keulibeut ketika dikonfirmasi menjelaskan, pertemuan ini membahas sejumlah agenda penting. Diantaranya soal pembahasan Qanun Perlindungan Guru dan lembaga-lembaga kekhususan Aceh.
“Pada pertemuan kemarin, kita terus mendorong tentang Qanun Perlindungan Guru. Karena selama ini banyak kita terima laporan dari masyarakat, banyak guru yang mendapat intimidasi oleh wali murid maupun dari murid sendiri,” ujar Ketua Komisi VI DPR Aceh, Tgk Anwar Keulibeut.
Tgk Anwar menuturkan, rancangan Qanun Perlindungan Guru yang diusulkan oleh Komisi VI DPRA diharapkan menjadi fondasi hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak guru. Qanun ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, profesi, serta keselamatan dan kesehatan kerja bagi para pendidik di Aceh.
Ia berharap, qanun ini menjadi landasan bagi Pemerintah Aceh, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan yang mengedepankan prinsip perlindungan guru.
“Perlindungan guru adalah kunci dalam menciptakan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Kebijakan yang diambil harus berorientasi pada perlindungan hukum, profesi, serta keselamatan dan kesehatan kerja guru, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ucap Tgk Anwar.
Selain itu, Komisi VI DPR Aceh juga meminta agar Wali Nanggroe menjadi tim penengah dalam menangani permasalahan yang terjadi dalam lembaga-lembaga kekhususan Aceh. Selama ini, katanya lagi, lembaga kekhususan Aceh umumnya sudah tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Ia mencontohkan seperti adanya perkara yang terjadi di setiap gampong-gampong umumnya seringkali tidak ditangani langsung oleh Majelis Adat Aceh (MAA). Jika ada persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, malah langsung diserahkan ke pihak kepolisian.
“Padahal saat awal berdirinya MAA, ada seruan jika terjadinya persoalan-persoalan kecil dalam masyarakat, itu ranahnya MAA secara adat. Faktanya sekarang, jika ada persoalan itu terjadi, langsung dilimpahkan ke Polsek atau Polres setempat,” ujarnya lagi.
Hal senada juga disampaikan Tu Haidar. Politisi Partai Nanggroe Aceh (PNA) ini meminta saran dan masukan Wali Nanggroe untuk memediasi pertemuan antara pihak Komisi VI DPR Aceh dengan instansi terkait.
“Alhamdulillah, kita sudah merevisi Qanun tentang Wali Nanggroe Aceh yang mana memiliki peran dan otoritas penuh untuk memanggil para lembaga-lembaga kekhususan Aceh tersebut agar dapat berjalan optimal,” ujar Tu Haidar.
Menruutnya, pihak Komisi VI DPRA mendapat informasi jika dalam RPJP Aceh dan RPJMA tidak dimuat program tentang keistimewaan dan kekhususan Aceh. Padahal, katanya lagi, Aceh punya keistimewaan, punya UUPA yang menjadi pedoman dalam sistem Pemerintahan Aceh
“Kita khawatir andaikata tidak dimuat tentang kekhususan Aceh, berarti 20 tahun kedepan dikhawatirkan akan pupus di Bumi Aceh. Kita harapkan kepada Wali Nanggroe agar sudi kiranya menjadi pertimbangan matang untuk disampaikan langsung kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat agar RPJM Aceh agar dimuatkan program kekhususan Aceh,” sebut Tu Haidar.