Saya masih belum berada dalam kesadaran penuh saat catatan ini ditulis. Kesadaran yang sepertinya melayang ke langit ketika Pratama Arhan berhasil mencetak gol penalti ke gawang kiper Korea Selatan, Baek Jong-beom. Keberhasilan Arhan itu membuat Indonesia melanjutkan kisah spektakulernya di Piala Asia U-23 tahun 2024.
Awalnya, saya berpikir kisah Anjas Asmara yang gagal melesakkan penalti ke gawang Korea Utara pada kualifikasi Olimpiade 1976 akan terulang kembali ketika Arkhan Fikri gagal menjalankan tugasnya. Pada saat itu, gelegak hasrat saya sebagai fan Timnas sepak bola seperti diajak turun kembali ke bumi: sudahlah, timnas sedang berproses. Akan ada masanya ketika proses itu matang, kita akan menuai hasil.
Bisikan kosmik demikian tentu saja datang dari pengalaman lebih tiga dekade saya menonton Timnas. Satu pengalaman yang sedikit bersifat traumatik, sekaligus realistik. Apalagi, yang sedang dilawan oleh Rizky Ridho dan kawan-kawan adalah Korea Selatan, raja sepak bola Asia.
Korea Selatan, selain Uni Soviet, adalah negara yang selalu disebut ketika kita menceritakan tentang sejarah kegemilangan sepak bola Indonesia. Uni Soviet dikenang karena keberhasilan generasi Maulwi Saelan menahan imbang negara kuat itu di Olimpiade Meulbourne 1956, sedangkan Korea Selatan selalu dijadikan kisah “nyarisnya” Indonesia ke Piala Dunia Meksiko 1986.
Korea Selatan memang tidak terjangkau oleh imajinasi terliar sekali pun para pendukung Timnas Indonesia. Kita, khususnya para pendukung, hanya bisa melihat pemain-pemain Korea Selatan melalui televisi ketika mereka berhadapan dengan Maradona di Meksiko 1986, Mattheus di Amerika Serikat 1994, atau di saat yang paling dikenang: memulangkan Figo, Maldini, dan Raul Gonzales di Piala Dunia 2002 silam.
Hanya sebatas itu cara kita melihat sepak bola Korea Selatan, seperti ada jarak yang hampir tidak bisa didekatkan. Walaupun segenap upaya selalu ada. Salah satunya oleh Timnas PSSI Primavera era Kurniawan Dwi Yulianto.
Timnas Primavera merupakan proyek ambisius PSSI di awal tahun 1990-an. Kala itu, dengan dukungan penuh Nirwan Bakrie, diberangkatkanlah anak-anak muda terbaik Indonesia untuk menimba ilmu di Italia. Timnas Primavera menjadi oase di tengah penceklik gelar sepak bola Indonesia pascaSea Games 1991.
Publik Indonesia, kala itu, menganggap bahwa PSSI Primavera akan menjadikan sepak bola Indonesia — seperti yang sering diulang-ulang, kembali menjadi Macan Asia. Harapan itu sepertinya akan terkabul. Para pemain Primavera, terutama Kurniawan Dwi Yulianto, dielu-elukan. Publisitas mereka pun jangan ditanya. Tabloid Olahraga Mingguan, Gema Olahraga, bahkan secara rutin meliput aktivitas punggawa Timnas Primavera di Italia.
Lalu, kesempatan publik menyaksikan Timnas Primavera pun tiba melalui dua turnamen: Piala Asia kelompok umur dan kualifikasi Olimpiade 1996. Hasilnya? gagal. Pada babak kualifkasi Olimpiade 1996, Timnas Primavera dikalahkan dua kali oleh Korea Selatan.
Proyek PSSI Primavera gagal memberikan gelar untuk sepak Indonesia, termasuk saat beberapa pemainnya menjadi skuad penting pada Sea Games 1997 di Jakarta. Setelah itu, sepak bola adalah sejarah kegagalan dan kemuraman.
Ingatan demikian yang selalu menghantui kita: pemain, pelatih, dan penonton. Ada perasaan bahwa timnas sepak bola kita seperti remahan rengginang dari piramida sepak bola Asia. Bahkan, pernah masa yang paling suram tiba tanpa diduga, Timnas Indonesia mulai kesulitan melawan negara-negara semenjana sepak bola, seperti Filipina dan Kamboja, sekaligus dihajar habis-habisan oleh Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Kini, ingatan buram tentang kegagalan seperti mulai menjauh. Pemberitahuannya melalui kemenangan dramatis atas Timnas Korea Selatan semalam di Stadion Abdullah bin Khalifa. Kemenangan yang bukan datang dari parkir bus atau mengharap keberuntungan langit, melainkan kemenangan yang diperoleh melalui perlawanan tanpa kenal lelah.
Perlawanan yang datang dari kesiapan mental, fisik, dan strategi. Hal tersebut diperlihatkan dari keunggulan statistik seama pertandingan dan keteguhan setiap pemain menghadapi babak adu penalti.
Setelah kemenangan melawan Korea Selatan tersebut, kita tidak lagi bisa mundur ke belakang. Pandangan harus dihadapkan ke depan, sambil memekik dengan suara yang menggelegar, “Dunia, kami datang!”