Sumbangan Aceh Bagi Bahasa Indonesia

Menyambut Hari Sumpah Pemuda: 28 Oktober 2023

TA Sakti, tokoh langka di dunia hikayat Aceh | Foto via dokumen Tambeh

Oleh TA Sakti

DALAM Grup “Pojok Ie Masen” kemarin saya baca tulisan Dr. Yudi Latif menyambut Hari Sumpah Pemuda, 2023. Katanya, “Diawali bahasa Melayu Riau, kini bahasa Indonesia….”.
Sesungguhnya, mengembalikan akar bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Riau adalah melanjutkan Sejarah Bahasa Indonesia yang ditulis penjajah Belanda.

Bahasa Melayu merupakan akar utama dari bahasa Indonesia. Sepanjang sejarah perkembangannya, bahasa Melayu terus-menerus diperkaya sehingga ia semakin mantap berperan di seluruh wilayah Nusantara.

Bahasa Melayu masih dapat dilacak jejaknya mulai abad ke-7 masa Kerajaan Sriwijaya berupa prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Melayu kuno, seperti prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 M), Talang Tuo (tahun 684), dan lain-lain.

Seiring dengan timbul-tenggelamnya kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan datangnya penjajahan asing; bahasa Melayu pun mendapat predikat yang berbeda-beda dalam perkembangannya; yaitu:

1) bahasa Melayu Pasai
2) bahasa Melayu Melaka
3) bahasa Melayu Aceh Darussalam
4) bahasa Melayu Johor
5) bahasa Melayu Riau
6) bahasa Melayu Balai Pustaka
7) bahasa nasional Indonesia
8) bahasa nasional Malaysia.

Bahasa Melayu Pasai berkembang pada masa Kerajaan Samudera Pasai (1250-1524 M). Kerajaan ini amat berperan dalam penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah di Asia Tenggara seperti ke Melaka dan Jawa.

Bersamaan berkembangnya agama Islam itu tersebar pula bahasa Melayu Pasai di daerah wilayah tersebut melalui kitab-kitab pelajaran agama Islam yang menggunakan bahasa Melayu Pasai sebagai pengantarnya.

Kerajaan Samudera Pasai berhubungan akrab dengan Kerajaan Melaka. Perkawinan antara Sultan Melaka Iskandar Syah dengan puteri Sultan Zainal Abidin dari Samudera Pasai semakin mempererat hubungan kedua negara itu.

Sultan Samudera juga telah mengutus dua orang ulama ke pulau Jawa untuk mengembangkan agama Islam. Berkat dakwah Islam yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak-lah, maka agama Islam berkembang di Gresik, dan seterusnya menyebar ke seluruh pulau Jawa. Karena berperan sebagai pendakwah pertama itulah sehingga Maulana Ishak bergelar Syekh Awwalul Islam.

Sebutan istilah “bahasa Melayu” merupakan kebiasaan baru di abad ke 18. Pada abad keenam belas dan tujuh belas penyebutan bahasa Melayu adalah dengan menggunakan istilah “bahasa Jawi”, karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan-lidah masyarakat Nusantara.

Sementara “Jawi” ialah sebutan orang-orang Arab di masa itu untuk negeri-negeri di wilayah Nusantara – Asia Tenggara.

Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis dengan bahasa Jawi atau bahasa Melayu Pasai merupakan bukti amat kuat untuk mengenal bentuk asli bahasa Jawi Pasai itu. Namun, naskah satu-satunya dari Hikayat Raja-raja Pasai yang terwariskan kepada kita hari ini bukanlah dijumpai di Aceh, melainkan di pulau Jawa.

Naskah ini kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, daerah Bogor yang selesai disalin tahun 1235 H atau 1819 M.

Keberadaan naskah satu-satunya Hikayat Raja-raja Pasai di pulau Jawa merupakan salah satu bukti pula, bahwa masyarakat Jawa masa itu telah mengenal bahasa Melayu Pasai dengan baik, sehingga mereka dapat menikmati kisah-kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai itu.

Menurut Dr. Muhammad Gade Ismail dalam satu tulisannya mengatakan, adanya hubungan antara Kerajaan Samudera-Pasai dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara seperti pulau Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lombok dan Sumbawa dapat ditelusuri dengan adanya kesamaan batu nisan yang terdapat di Pasai dengan daerah-daerah tersebut di atas.

Melalui perhubungan antara berbagai wilayah itulah bahasa Melayu Pasai secara perlahan-lahan berkembang menjadi “bahasa lingua franca” atau bahasa ilmu dan perdagangan.

Bahasa Jawi atau bahasa Melayu Pasai juga menjadi salah satu bahasa resmi Kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari kata pengantar Kitab Mir’atut Thullab karya Syekh Abdurrauf Syiah Kuala. Tentang hal itu Syekh Abdurrauf berkata:

“Maka bahwasanya adalah Hadlarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah, bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan kepadanya orang yang menjabat jabatan qadli pada pekerjaan hukum daripada segala hukum syarak Allah yang muktamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu”.

Dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah ini banyak melahirkan ulama dan pengarang yang sebagian karya-karya mereka masih ditemui hingga hari ini. Namun, ada empat ulama-pujangga yang paling terkenal yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatra-i, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurauf As-Singkily.

Di antara karangan Hamzah Fansuri ialah: Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Sementara karyanya yang berbentuk prosa antara lain Asrarul Arifin. Tentang peranan Nuruddin Ar-Raniry dalam mengembangkan bahasa Melayu, Dr. Azyumardi Azra menulis sebagai berikut :
“Tidak kalah penting adalah peranan Ar-Raniry dalam mendorong lebih jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua Franca di wilayah Melayu Indonesia. Dia bahkan diklaim sebagai salah seorang pujangga Melayu pertama.

Meski bahasa ibu Ar-Raniry bukanlah Melayu, penguasaannya atas bahasa ini tak perlu diperdebatkan lagi. Seorang ahli bahasa Melayu-Indonesia menyatakan, bahasa Melayu Klasik al-Raniry tidak menunjukkan kekakuan yang sering terlihat dalam bahasa Melayu praklasik. Dengan demikian, karya-karya Al-Raniry dalam bahasa Melayu juga dianggap sebagai karya-karya sastra dan, sebab itu, memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Syekh Abdurrauf As-Singkily sepanjang karirnya di Aceh beliau telah menulis karya-karya besar yang menjadi rujukan kaum muslimin Melayu dalam masalah fiqih, tafsir, kalam dan tasawuf.

Perkembangan bahasa Melayu Jawi sejak Kerajaan Samudera Pasai sampai saat berdirinya negara Nasional Republik Indonesia tentu telah melewati waktu yang berabad-abad lamanya.

Dr. Teuku Iskandar mengatakan :”Kesuksusteraan Melayu yang dimulai di Kerajaan Pasai dan dilanjutkan di Kerajaan Aceh berkembang selama lebih dari enam ratus lima puluh tahun, dan berpengaruh sampai sekarang.

Dalam hal ini, Syed Muhammad Naguib al-Attas antara lain mengatakan, bahwa pengaruh jejak ke penyairan Hamzah Fansuri terus berlanjut hingga abad ke-20. kesimpulan itu diakui oleh seorang ahli tentang Hamzah Fansuri (Hamzah Fansurilog), yakni Abdul Hadi W.M.

Ia berpendapat, pengaruh Hamzah Fansury terlihat pada beberapa karya penyair “Pujangga Baru” seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Bagi Sanusi Pane pengaruh itu nampak pada sajaknya “Dibawa Gelombang”, sedangkan untuk Amir Hamzah terlihat dalam sajak yang berjudul “Sebab Dikau”.

Selain Sanusi Pane dan Amir Hamzah, masih banyak pula para penyair “Angkatan Pujangga Baru” yang terpengaruh dengan sastra sufi yang bersumber dari aliran Tasawuf Hamzah Fansury.

Diantara mereka adalah Hamka, Ali Hasjmy, Asmara Hadi, OR Mandank, Yoesoef Sou’yb dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Dalam kajian Abdul Hadi W.M lainnya pada periode 1970-an juga didapati, bahwa aliran tasawuf Hamzah Fansury terus berpengaruh kepada beberapa penyair masa itu, bahkan hingga masa kini, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto,, Acep Zamzam Noor dan Ahmadun Y Herfanda.

Perihal sejarah awal bahasa nasional Indonesia berpunca atau bersumber pada sejarah bahasa Melayu Pasai, memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Sebab ketika Belanda mencari bahasa pengantar yang mau dipakai bagi sekolah-sekolah bumi putera (rakyat Hindia Belanda) mereka memilihnya bahasa Melayu Riau. Yakni ( urutan ke 4 ) dari sejarah perkembangan bahasa Melayu.

Kalau Belanda mengambil dari bahasa Melayu Melaka (urutan ke 2) atau Johor (urutan ke 3), Melaka dan Kerajaan Johor sudah dalam penjajahan Inggeris. Sementara jika diambil dari bahasa Melayu Pasai (urutan 1) Kerajaan Belanda sedang berperang dengan Kerajaan Aceh, yang daerah Pasai adalah bagian wilayah Kerajaan Aceh.

Belanda tidak salah, karena yang diambil dari Riau sebagai daerah yang telah ditaklukannya. Kitalah yang salah, telah mengekor bulat-bulat kepada sejarah bahasa Melayu (kemudian menjadi bahasa nasional Indonesia) yang dibuat Belanda!.

Bagi yang berminat membaca versi panjang tulisan ini, silakan lihat “Bahasa Melayu Pasai, Akar Tunjang Bahasa Nasional Indonesia” dalam blog www.tambeh.wordpress.com

* Penulis Peminat Manuskrip dan Sastra Aceh.